China Disebut Negara Termahal untuk Besarkan Anak, Perempuan Kini Lebih Prioritaskan Karier
Krisis demografi memberikan dampak yang signifikan bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Sejak 2016, pihak berwenang China sudah berupaya membalikkan tren tersebut setelah beberapa dekade menerapkan “kebijakan satu anak”. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada kabar yang membahagiakan terkait pertumbuhan populasinya.
Meskipun pemerintah telah melonggarkan batasan jumlah anak yang diperbolehkan per pasangan, di samping berbagai kebijakan lain yang mendorong keluarga untuk memiliki lebih banyak anak, hanya sedikit yang berubah. Banyak perempuan China merasa pengorbanan yang mereka lakukan tidak sebanding dengan imbalan yang mereka terima.
Menurut laporan YuWa, perempuan yang mengambil cuti melahirkan bisa saja menghadapi perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti dipindahkan ke tim lain, dipotong gajinya, atau kehilangan peluang promosi.
Laporan tersebut juga menyebutkan, jika biaya cuti melahirkan sepenuhnya ditanggung oleh perusahaan tanpa bantuan pemerintah, maka pemberi kerja mungkin akan menghindari perekrutan perempuan dalam usia subur. Tak jarang pula perempuan ditanyai tentang KB (keluarga berencana) saat wawancara kerja, meski mereka memang tidak berencana untuk memiliki anak.
Meskipun ada beberapa perempuan berhenti bekerja untuk membesarkan anak-anak mereka, keputusan itu ternyata membuat mereka menjadi sangat sulit untuk kembali bekerja. Sebagai gambaran, perempuan yang memiliki anak bisa mengalami penurunan gaji sebesar 12–17 persen.
Situasi semacam itu mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir. Akan tetapi, perempuan China kini lebih berpendidikan dan mandiri secara ekonomi. Bahkan, jumlah perempuan yang mengambil program pendidikan tinggi di sana kini melebihi laki-laki.
Dengan begitu banyak kemajuan yang dicapai dalam beberapa tahun terakhir, perempuan semakin memprioritaskan karier dan pengembangan diri mereka dibandingkan hal-hal tradisional seperti pernikahan dan melahirkan.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan di China terutama bertanggung jawab atas tugas-tugas rumah tangga seperti memasak, bersih-bersih, dan berbelanja. Mereka juga harus mengurus anak, termasuk mengurus sekolah, membantu pekerjaan rumah (PR), dan memberikan mereka bimbingan belajar .
Mengutip sebuah makalah yang diterbitkan 2018, laporan YuWa menyebutkan, semua tanggung jawab itu membuat perempuan kehilangan hampir lima jam setiap hari waktu luang dan waktu kerja berbayar mereka. Hampir seluruh jam tersebut dihabiskan untuk pekerjaan rumah tangga. Meskipun para ayah juga kehilangan waktu luang bersama anak-anak, jam kerja berbayar mereka tidak berubah secara signifikan. Karier para ayah juga tidak terpengaruh secara signifikan.