Kisah Kemal Idris Si Jenderal Sampah, Mengadu ke Presiden Soeharto Gara-gara Dipungli di Jakarta
 
                 
                Dengan pertimbangan itu, Kemal Idris tidak menutup perusahaannya. Dia berkeinginan keras memberantas sampah dan menciptakan kenyamanan kota. Namun, dia selalu saja saya menemukan hambatan-hambatan.
Kemal Idris mengaku sering jadi korban pungutan liar (pungli). Dia merasa diperas dan dipersulit oleh birokrasi dimulai dari tingkat kelurahan.
"Saya merasa diperas oleh birokrasi karena harus banyak mengeluarkan uang di setiap kelurahan. Hambatan itu terletak pada birokrasi Pemerintah Kota Jakarta sehingga program perusahaan kadang kala mengalami kemacetan," katanya.
Dia bercerita, untuk satu pekerjaan saja terkait pengelolaan sampah, harus mengumpulkan tanda tangan satu kelurahan.
"Saya tidak mengada-ada. Saya mengalami sendiri betapa birokrasi di Indonesia, terutama di Jakarta, sangat parah. Untuk mengerjakan suatu pekerjaan, saya harus mengumpulkan 22 tanda tangan pada satu kelurahan," katanya.
Padahal, saat itu Kemal Idris memerlukan tanda tangan di 27 kelurahan. Itu berarti, dirinya harus memperoleh 154 tanda tangan. Jika salah satu tanda tangan kurang, berarti dana yang dia usahakan tidak dibayar.
"Sulit membayangkan, setiap kali memperoleh tanda tangan, saya harus mengeluarkan uang Rp50.000 sampai dengan Rp150.000. Misalkan untuk satu tanda tangan saya harus membayar Rp100.000, maka untuk satu proyek, saya harus mengeluarkan uang Rp15.400.000," katanya.
Bagi Kemal Idris, hambatan pungli yang dia alami sungguh kenyataan yang sangat ironis. Mentalitas pelaku pungli benar-benar sangat bobrok. Apalagi, perusahaannya tidak mengejar keuntungan yang berlebihan.
"Bahkan saya sendiri sebagai direktur tidak menuntut harus menerima gaji dari perusahaan. Misalnya saja, dalam dua tahun, perusahaan hanya memperoleh keuntungan lima juta rupiah dan hasil itu pun dimanfaatkan untuk semua kepentingan karyawan." katanya.