4 Perusahaan Tambang di Raja Ampat, Ini Fakta-Fakta dan Perizinannya
JAKARTA, iNews.id – Polemik tambang nikel kembali mencuat di kawasan eksotis Raja Ampat, Papua Barat Daya. Empat perusahaan tambang nikel kini menjadi sorotan tajam karena diduga melakukan pelanggaran serius terhadap regulasi lingkungan dan mengancam ekosistem pulau-pulau kecil yang menjadi warisan dunia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) telah melakukan pengawasan langsung pada 26–31 Mei 2025 terhadap aktivitas tambang Raja Ampat. Hasilnya mengejutkan, dari empat perusahaan yang diawasi, semuanya dinilai bermasalah, baik secara administratif maupun lingkungan.
Langkah pengawasan ini dilakukan KLH/BPLH pada 26–31 Mei 2025 sebagai bagian dari penegakan hukum lingkungan dan upaya penyelamatan ekosistem pesisir yang memiliki nilai ekologis tinggi.
"Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi," ujar Menteri KLH, Hanif Faisol Nurofiq, Jumat (6/6/2025).
Empat perusahaan tambang yang diawasi secara langsung yakni PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP) dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP). Seluruhnya telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan, namun hanya PT GN, PT KSM, dan PT ASP yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Perusahaan asal Tiongkok, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), menjadi sorotan utama dalam pengawasan ini. KLH mencatat, PT ASP melakukan penambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tidak mengelola air limbah tambang.
Lebih parah lagi, PT ASP tidak memiliki izin penggunaan kawasan hutan (PPKH), namun tetap beroperasi di wilayah pulau kecil yang dilindungi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.