Badai PHK Jurnalis dan Ancaman Disinformasi
Dedi Prasetia
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UI
PEMUTUSAN hubungan kerja (PHK) terus menghantam industri media di Indonesia sejak 2023. Gelombang PHK yang menerpa industri media Indonesia bukan sekadar masalah ketenagakerjaan. Di balik angka-angka jurnalis yang kehilangan pekerjaan, tersimpan ancaman serius bagi kualitas informasi dan masa depan demokrasi.
Disrupsi teknologi mengubah wajah industri media secara drastis. Perkembangan teknologi dan hadirnya kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap kerja di industri media. Banyak pekerjaan pekerja, termasuk jurnalis mulai digantikan oleh AI. Publik juga semakin berpindah ke platform digital untuk mendapatkan informasi, membuat perusahaan media terpaksa mengatur ulang model bisnis mereka agar tetap bertahan. Efisiensi menjadi mantra utama.
Ribuan jurnalis dipangkas, redaksi dikurangi, dan teknologi perlahan mulai menggantikan peran manusia dalam proses produksi berita. Selain itu media kini harus memprioritaskan kecepatan dan viralitas untuk bersaing dengan ledakan informasi di media sosial yang belum tentu kebenarannya.
Menurut data Dewan Pers (2024), lebih dari 1.200 pekerja media di Indonesia mengalami PHK dalam dua tahun terakhir. Sementara itu, menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) jurnalis yang masih bertahan menghadapi tekanan kerja tinggi namun upah yang tidak layak.
Pengurangan jurnalis profesional bukan sekadar kehilangan pekerja, ini bisa menjadi krisis epistemik. Artinya, kemampuan masyarakat untuk membedakan fakta dari kebohongan semakin tergerus. Ketika logika viralitas menggantikan logika verifikasi, ruang publik berubah menjadi medan tempur disinformasi.