Badai PHK Jurnalis dan Ancaman Disinformasi
Digital News Report 2024 dari Reuters Institute mencatat skor kepercayaan publik terhadap berita di Indonesia menurun menjadi 35%.
Di sisi lain, laporan We Are Social (2025) mengungkap bahwa 97,8% pengguna internet Indonesia mengakses media sosial, sementara hanya 70,5% yang mengakses berita daring. Ini memperkuat fakta bahwa ruang bagi informasi kredibel semakin sempit, dan berita bersaing dengan konten hiburan, spekulasi, hingga hoaks.
Sejumlah pakar komunikasi digital telah lama mengingatkan bahaya dominasi algoritma dalam media. Vincent Mosco, penulis The Political Economy of Communication (2009), menyebut media modern semakin dikendalikan pasar.
Pengamat Komunikasi dari Universitas Tarumanagara, Diah Ayu Candraningrum menilai, tanpa keberadaan media yang kredibel dan jurnalisme profesional, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi akurat dan asupan pemikiran kritis. Tanpa produk jurnalistik profesional, ruang publik akan dipenuhi oleh konten sensasional yang viral di media sosial.
Dalam situasi ini, peran negara menjadi krusial. Pemerintah tidak bisa hanya menjadi penonton dalam runtuhnya ekosistem informasi. Diperlukan kebijakan yang konkret untuk menjaga keberlangsungan jurnalisme berkualitas dan juga regulasi yang menjamin perlindungan kerja bagi jurnalis profesional. Literasi digital juga harus diperluas. Masyarakat perlu dibekali kemampuan membedakan informasi valid dari hoaks.
Ketika media tunduk pada algoritma, dan jurnalis digantikan mesin, maka yang dipertaruhkan bukan hanya lapangan kerja, tetapi juga kebenaran. Dalam demokrasi yang sehat, jurnalisme yang kuat adalah fondasi. Maka menjaga eksistensi jurnalis profesional bukan pilihan, tapi keharusan.
Editor: Maria Christina