Banyak Kepala Daerah Ditangkap KPK, Ini Kata Pakar dari IPDN
JAKARTA, iNews.id – Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Purbalingga Tasdi, Senin (4/6/2018) lalu, menambah panjang daftar kepala daerah tersandung kasus suap atau korupsi. Guru besar ilmu politik pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Profesor Djohermansyah Djohan, menilai fenomena tersebut disebabkan tingginya biaya yang dihabiskan untuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di Indonesia.
“Dengan ditangkapnya bupati Purbalingga oleh KPK, kini sudah 401 kepala daerah yang kena perkara (suap atau korupsi). Ini gara-gara pilkada langsung berbiaya tinggi yang kita adopsi sejak reformasi. Sementara, aktor politik lokal tidak matang dan pemilih sendiri rawan politik uang,” kata Djohermansyah di Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (dirjen Otda Kemendagri) itu menuturkan, kondisi juga makin diperparah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah di Tanah Air yang jauh dari efektif. Bupati dan wali kota tidak mau disupervisi dan dikoordinasi gubernur hanya gara-gara merasa punya konstituen sendiri—yang diperoleh saat pilkada langsung.
“Rapat-rapat di provinsi jarang mereka (bupati dan wali kota) hadiri, bahkan diundang presiden pun mereka enggan datang,” ucap Djohermansyah.
Melihat kondisi pemerintahan daerah semacam itu, kata dia, dapat disimpulkan bahwa triliunan rupiah uang rakyat yang dipakai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawslu), dan Kepolisian RI (Polri) untuk hajatan pilkada selama ini sia-sia belaka. Karenanya, sudah waktunya sistem pilkada di Indonesia ditata ulang. Djohermansyah menyarankan pilkada langsung hanya diterapkan untuk pemilihan gubernur.