Hukum Sesat, Ekonomi Rusak
Hukum Naif, Pengadilan Sesat
Selain sesat, pengadilan seperti ini absurd. Pengadilan tidak dapat membedakan antara pengambilan keputusan bisnis yang berisiko dengan praktik kriminal maling dan rampok. Dalam kasus pengadilan ini, pengambilan keputusan perusahaan yang baik tetapi berisiko rugi dan terjadi kerugian dianggap sebagai kriminal. Jika ini dibiarkan, maka ke depan Indonesia akan dijangkiti penyakit anarki hukum.
Yang naif selanjutnya adalah menghitung kerugian sesuai selera sendiri. Kapal-kapal yang dibeli dinilai sebagai besi tua dan dihitung secara kiloan seperti pemulung menyerahkan besi bekas kepada pengumpul. Jadilah nilai kerugian "sim salabim" dari selisih pembelian terhadap perhitungan ala pengumpul rongsokan besi tua. BPK diabaikan padahal sudah melakukan audit dengan opini Wajar Dengan Pengecualian hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8–10 miliar. Jauh sekali dari Rp1,25 triliun yang didakwakan sebagai kerugian negara.
Para ahli pasti berpendapat bahwa mengakuisisi perusahaan rugi adalah hal lazim dalam bisnis, di mana proses akuisisi merupakan bagian dari ekspansi perusahaan. Peluang untung dan rugi adalah dinamika wajar dalam bisnis. Dalam kasus ASDP, direksi bukan hanya melakukan hal yang benar, tetapi berjuang untuk mengembangkan perusahaan. KPK yang mengangkat kasus ini mengakui tidak ada aliran uang mencurigakan. PPATK tidak menemukan aliran dana korupsi. BPK menyatakan akuisisi dilakukan sesuai ketentuan. Saksi dari komisaris dan direksi membantah tuduhan bahwa komisaris tidak menyetujui akuisisi.
Jika fakta ini diabaikan, maka layak pengadilan ASDP disebut sebagai pengadilan sesat, dengan jaksa dan hakim yang dholim. Proses hukum dan motivasi mengejar orang tidak bersalah ke meja hijau perlu diselidiki.
Editor: Maria Christina