Kasus Minyak Babi Ayam Widuran Tak Cukup Hanya Minta Maaf, Publik Tuntut Proses Hukum
JAKARTA, iNews.id – Kasus restoran legendaris Ayam Widuran yang kedapatan menggoreng ayamnya dengan minyak babi mengejutkan publik, terutama konsumen Muslim yang merasa dikhianati. Meski telah meminta maaf, langkah tersebut dinilai tidak cukup dan cenderung meremehkan pelanggaran serius yang terjadi selama puluhan tahun.
"Minta maaf saja tidak cukup. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, tapi penipuan sistemik yang berjalan puluhan tahun," ujar Tulus Abadi, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), menanggapi pernyataan manajemen Ayam Widuran.
Sebagai restoran yang berdiri sejak 1973 dan dikenal luas masyarakat Solo sebagai penyedia makanan "halal", penggunaan minyak babi dalam proses pengolahan makanan dinilai sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan konsumen.
"Ini bukan hanya merugikan umat Islam, tapi seluruh konsumen. Mereka telah mengonsumsi produk yang tidak sesuai standar dan tanpa informasi yang benar," ujar Tulus.
Potensi Pelanggaran Pidana
FKBI menilai, kasus ini tidak bisa berhenti pada permintaan maaf. Ada potensi pelanggaran hukum serius, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU Pangan, hingga UU Jaminan Produk Halal.
"Apa yang dilakukan Ayam Widuran secara hukum bisa dikategorikan sebagai penipuan. Maka seharusnya ada proses hukum oleh kepolisian. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif," kata Tulus.
Tak hanya pihak restoran yang menjadi sorotan. Dinas Perdagangan dan Dinas Kesehatan setempat juga dinilai lalai, karena gagal melakukan pengawasan menyeluruh. Menurut FKBI, Pemkot Solo pun patut dipertanyakan komitmennya dalam melindungi warga, jika selama ini hanya fokus pada pemungutan PAD tanpa kontrol atas kualitas dan kehalalan produk.
Masalah Sistemik
Kasus Ayam Widuran membuka kotak Pandora yang lebih besar. Dalam beberapa waktu terakhir, muncul pula temuan sembilan merek makanan ringan bersertifikat halal yang ternyata tidak halal. Fenomena ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem pengawasan produk halal di Indonesia.
"Kita harus melihat kasus ini secara holistik, bukan mikro. Ini cermin dari lemahnya sistem pre-market dan post-market surveillance," kata Tulus.
Lebih dalam lagi, FKBI menyoroti regulasi soal self-declaration yang diizinkan dalam UU Cipta Kerja, terutama bagi pelaku usaha skala UMKM. Model ini dianggap sangat rentan disalahgunakan, karena minim kontrol dan rawan manipulasi.
"Self declaration itu sangat lemah dari sisi perlindungan konsumen, apalagi di era digital seperti sekarang. Masyarakat bisa dengan mudah tertipu oleh label halal yang ternyata semu," ujar Tulus.
FKBI mendesak MUI dan Badan Penjamin Produk Halal (BPPH) untuk turun tangan dan meningkatkan pengawasan di lapangan. Tak hanya itu, perlu juga dilakukan audit menyeluruh terhadap proses sertifikasi halal, serta peninjauan ulang terhadap ketentuan self-declaration yang justru membuka celah besar terhadap pelanggaran.
Editor: Dani M Dahwilani