Kisah 3 Murid Tjokroaminoto yang Mengambil Jalan Berbeda: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo
Akhirnya, pada September 1962, setelah lama termenung di meja kerjanya, dia menggoreskan tanda tangannya di atas berkas vonis Kartosoewirjo. Seketika, dia ingat hari-hari bersama Kartosoewirjo di medan perang.
Masih terdengar canda dan tawa, serta diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan, dan apa saja yang begitu hangat dengan sahabatnya itu. Dia lalu mengambil selembar foto Kartosoewirjo, dan menatapnya lama-lama sambil berlinangan air mata.
Saat melihat foto sahabatnya itu, Soekarno tersenyum.
“Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang,” ucapnya.
Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo, pada 5 September 1962 di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta.
3. Semaoen
Semaoen lahir tahun 1899 di Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya seorang buruh kasar, tukang batu pada jawatan kereta api milik pemerintah. Sebagai akibat politik Etis, Semaoen bisa sekolah di Tweede Klas, pada tahun 1906.
Setelah lulus sekolah dasar dan mendapat sertifikat klien abtenaar pada 1912, pada usia yang masih sangat belia yakni 13 tahun, Semaoen diterima bekerja sebagai juru tulis kecil (Klerk) pada perusahaan kereta api milik pemerintah.
Saat Sarekat Islam (SI) didirikan, Semaoen mendaftar menjadi anggotanya yang pertama-tama. Namanya masuk sebagai anggota SI afdeling Surabaya pada 1913. Setahun kemudian pada 1914, dia diangkat menjadi sekretaris SI cabang Surabaya.
Keterlibatan Semaoen dalam serikat buruh kereta api pemerintah mengantarkan dirinya mendapatkan nama buruk sebagai seorang agitator buruh pertama di Indonesia, yang lantas menghubungkannya dengan pemimpin buruh Belanda Sneevliet.
Sneevliet adalah seorang sosialis Belanda, pernah menjadi Ketua Serikat Buruh Trem dan Kereta Api yang dikontrol Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP). Dia tiba di Indonesia pada Februari 1913, sebagai orang buangan pemerintah.