Kisah Inspiratif Mantan Pelayanan yang Kini Jadi Wakil Dekan, Pernah Tidak Naik Kelas
Satria mengatakan jualan rombeng kedua orang tuanya hanya menghasilkan Rp5.000-Rp25.000 per hari. Uang tersebut pun digunakan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga.
Alhasil, Satria kecil harus lebih mandiri karena orang tuanya harus bekerja dari Senin-Minggu. Mendapatkan pengalaman pahit tidak naik kelas membuatnya sempat frustasi dengan mengurung diri di kamar.
Namun, setelah mengurung diri di kamar, ia berpikir dan tidak boleh berlama-lama meratapi nasib. Meski tidak naik kelas ia mencoba menjadi siswa yang lebih aktif, mengikuti berbagai olimpiade, aktif organisasi bahkan di tahun selanjutnya saat naik kelas 3 ia dipilih menjadi wakil ketua kelas.
Keaktifan di sekolah itu berlanjut hingga Satria duduk di bangku SMA. Di sana juga, ia bertemu dengan guru bernama Yusuf Ismail yang mengenalkannya dengan Muhammadiyah, organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), belajar mengaji dan agama.
“Waktu itu pengetahuan saya tentang agama sangat kurang, ibu mualaf dan kedua orang tua setiap hari kerja, jadi jarang ada waktu untuk ngobrol. Bersyukur bertemu Pak Yusuf Ismail beliau mengajari saya banyak hal tentang agama termasuk sering ngabsen salat saya,” ujar Satria.
Meski biaya sekolah SMA-nya gratis, Satria memilih sekolah sembari bekerja sebagai pelayanan di daerah Pakuwon. Hal itu dilakukan agar tidak memberatkan medua orang tuanya.
“Jadi saya sekolahnya pagi, pukul 2 sore sampai 11 malam saya jadi waiters gajinya Rp40.000 per hari. Konsekuensinya, saat sekolah saya sering ngantuk kadang juga tidur, tapi saya tetap imbangi dengan belajar agar nilai-nilai saya tidak turun,” ucap dia.
Satria pun menjadi seorang pelayanan sampai kuliah semester 3 di jurusan Ilmu Hukum UM Surabaya. Beruntungnya, ia mendapatkan kesempatan melanjutkan kuliah secara gratis.
Karena dibiayai, ia tidak ingin mengecewakan sehingga ia terus rajin belajar. Namun, saat menjadi mahasiswa hidupnya tidak langsung mudah, ia harus tetap mencari uang agar bisa bertahan hidup di Surabaya.
Selama di Surabaya Satria tidak memiliki kos-kosan, ia tinggal di sekret Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Bahkan, Satria mengaku pernah satu bulan penuh tidak memiliki uang sehingga harus ikut makan temannya.
“Bersyukur ada yang mengasihani dan mengajak saya makan setiap harinya, setelah itu saya berpikir untuk menyambung hidup dengan bekerja sebagai wartawan kampus, membantu riset dosen sampai jadi juru ketik, berkat jadi juru ketik itulah saya diberi laptop oleh dosen,” tutur Satria.