Menjaga Kondusivitas Politik seusai Pemilu 2019
Mencari bukti dan data valid adalah satu-satunya solusi yang bisa dilakukan pihak beperkara. Daripada demonstrasi tak memengaruhi hasil apa pun, sebaiknya massa aksi itu melakukan upaya investigatif untuk membuktikan tudingan kecurangan pemilu. Tak ada solusi lain selain membuktikan dengan data akurat.
Kondusivitas Politik
Dalam demokrasi protes politik perkara biasa yang keabsahannya dilindungi hukum. Bebas menyatakan pendapat dan berserikat adalah esensi demokrasi. Siapa pun tak bisa menghalangi atas nama apapun. Kebebasan rakyat di atas segala-galanya. Meski begitu, hukum juga melarang tindakan inkonstitusional atas nama kebebasan berekspresi.
Protes, demonstrasi, dan aktivitas mobilisasi massa lainnya menyikapi hasil pemilu harus dimaknai biasa-biasa saja. Tak boleh ada praktik politik gagah-gagahan menangkap aktivis yang hanya menyerukan aksi jalanan.
Demonstrasi bukanlah makar. Demonstrasi adalah aktivitas politik rakyat menyalurkan hak politik. Sementara makar merupakan upaya menggulingkan pemerintahan yang sah di tengah jalan. Ancaman pidananya serius mulai kurungan 20 tahun hingga penjara seumur hidup. Karena itulah harus berhati-hati dengan pasal tuduhan makar.
Oleh karena itu, jika diringkas secara sederhana, ada dua hal penting yang bisa dilakukan menjaga kondusivitas politik pascapemilu. Pertama, pihak yang merasa dirugikan atas hasil pemilu harus menempuh upaya konstitusional mencari keadilan politik. Demonstrasi dan bentuk agitasi lainnya tak mengubah apa pun yang sudah ditetapkan dalam pleno rekapitulasi KPU.
Demonstrasi sah saja tapi harus dilakukan dengan beradab. Anarkisme adalah tindakan jahiliah yang sudah lama ditinggalkan di negara ini. Tak boleh ada satu pun yang merasa paling berkuasa dengan menganjurkan kekerasan sebagai solusi sengketa hasil pemilu. Anarkisme hanya melahirkan instabilitas politik yang jelas bertentangan dengan nilai agama dan demokrasi.
Kedua, aparat negara tak perlu represif menghadapi kelompok kritis rakyat. Demonstrasi sebagai bentuk protes hal wajar sebagai wujud kebebasan berpendapat. Meski dalam batas tertentu upaya kekerasan diperbolehkan mengantisipasi terjadinya tindakan anarkis, secara umum rakyat tetap diberi ruang bebas berekspresi tak perlu pasal makar atau pasal subversif lainnya. Bangsa ini sudah maju tak perlu “cara lama” meredam kelompok kritis.
Tak usah juga mempersempit ruang gerak rakyat dengan meminimalkan akses penggunaan media sosial sebagai ruang berkomunikasi. Sangat berlebihan jika cara itu digunakan sekadar mengantisipasi demonstrasi.
Secara kuantitas, jumlah demonstran di depan KPU dan Bawaslu jumlahnya tak signifikan dibandingkan silent majoriry yang mendukung keputusan KPU. Terlampau panik memblokir media sosial karena menghambat akses komunikasi rakyat. Bahkan bisa mengganggu sektor bisnis yang menggantungkan hidup matinya melalui saluran daring (online).
*Artikel ini telah tayang di KORAN SINDO
Editor: Zen Teguh