Sebelumnya, sejak 2018, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah menetapkan produk-produk HPTL, termasuk produk vape sebagai barang kena cukai. Vape ditetapkan cukai sebesar 57 persen, merupakan tarif maksimal yang dikenakan menurut Undang-Undang Cukai Nomor 39 tahun 2007.
Ketua Aliansi Vaporiser Bali (AVB) I Gde Agus Mahartika berharap pemerintah dapat menerapkan struktur cukai spesifik untuk produk vape yang dianggap sebagai struktur paling tepat untuk mencapai kesederhanaan, transparansi, berkelanjutan dan juga mendorong kepatuhan produsen. Dia percaya pendekatan ini akan mengoptimalkan aliran penerimaan dan mencegah produk vape ilegal.
"Pemerintah mempertimbangkan kebijakan cukai yang proporsional dengan risiko kesehatan dapat memberikan kesempatan bagi perokok dewasa untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko,” ujarnya.
Ketua Aliansi Vapers Indonesia (AVI), Johan Sumantri berharap jika terkena kenaikan cukai, harga vape dapat tetap terjangaku. "Namun demikian, tetap diperlukan keseimbangan agar produk ini tidak dapat diakses kalangan di bawah umur dan bukan perokok," katanya.
Menurut Asosiasi Personal Vaporiser Indonesia (APVI), industri vape di Indonesia telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak lebih 50.000 orang. Angka tersebut belum termasuk para penjaga toko ritel, dan tenaga kerja tidak langsung yang terlibat di industri pendukung.
Saat ini jumlah pelaku industri vape di Indonesia mencapai lebih dari 5.000 pengecer dan lebih dari 100 produsen alat dan aksesoris. "Sebagian besar dari jumlah tersebut merupakam UMKM yang masih pada tahapan awal dalam pengembangan bisnis," kata Sekretaris Umum APVI, Garindra Kartasasmita.
Pavenas yang menaungi empat asosiasi vape menghargai pertimbangan pemerintah dalam penetapan target penerimaan cukai. Namun, mereka juga berharap agar kenaikan target penerimaan ini tidak memberatkan industri vape di seluruh Indonesia.