Menurut dia, beban bunga utang yang mahal menjadi salah satu titik kritis dari kondisi utang nasional. Yang menjadi titik kritis dari kondisi utang adalah beban bunga utang yang mahal, sementara kemampuan membayar utang tidak sebanding dengan kecepatan penerbitan utang baru.
"Selain itu, pemanfaatan dari utang masih terjebak pada belanja yang tidak produktif," ujar Bhima.
Dia juga menyoroti soal kemampuan negara dalam membayar utang. Hal itu bisa dicek dari posisi Debt Service Rationya (DSR) yang sudah mencapai 39,2 persen berdasarkan data terakhir.
"Filipina dengan rating utang yang lebih baik yakni BBB+ hanya memiliki DSR 10,1 persen dibanding Indonesia dengan rating BBB memiliki DSR 39,2 persen. Semakin tinggi DSR artinya kemampuan bayar utang dari penerimaan ekspor cenderung melemah," ungkap Bhima.
Terkait pemanfaatan utang, lanjutnya, porsi belanja pemerintah untuk belanja barang dan belanja pegawai masih tinggi sehingga dipersepsikan utang untuk hal yang kurang produktif. Sementara pembiayaan utang untuk infrastruktur pun menuai masalah.