JAKARTA, iNews.id - Cara memuaskan suami pada masa nifas menurut Islam perlu diketahui oleh seorang istri agar rumah tangga makin harmonis. Nifas atau lokia adalah pendarahan yang keluar dari vagina dan terjadi pada perempuan yang baru saja melahirkan.
Darah yang keluar dalam beberapa hari pertama berwarna merah pekat disertai gumpalan kecil darah. Kemudian lambat laun darah berubah semakin terang, merah muda, coklat, kuning, hingga putih.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas. Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Batas masa nifas terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama. Dalam riwayatnya, Syaikh Taqiyuddin menyebutkan, yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari’at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya.
"Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits," ujar Syaikh Taqiyuddin dalam Kitab Al Mughni.
Namun apabila darah nifasnya lebih dari 40 hari, padahal biasanya sudah berhenti setelah masa itu atau terlihat tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, maka si wanita hendaknya menunggu sampai berhenti.
Jika tidak berhenti, hendaklah ia mandi sempurna 40 hari. Karena itulah masa nifas secara umum. Kalau masih bertepatan dengan masa haid, si wanita itu harus menunggu sampai habis masa haidnya.
Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Kondisi berbeda-beda dialami setiap wanita, jika darah nifas masih terus keluar lebih dari 40 hari itu dinamakan ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya.
Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.
Bagi wanita yang nifas dan sedang haidh tentunya dalam agama Islam dilarang bersetubuh pada kemaluan (penetrasi kemaluan/coitus).
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” [Al-Baqarah/2: 222].
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
“Berbuatlah sesuka hatimu, kecuali bersetubuh (hadist ini shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 527)], Shahiih Muslim (I/246 no. 302), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/439 no. 255), Sunan at-Tirmidzi (IV/ 282 no. 4060), Sunan Ibni Majah (I/211 no. 644), dan Sunan an-Nasa-i (I/152).
Diperbolehkan bagi suami bercumbu dengan istri baik yang sedang haid maupun nifas selama dia tidak sampai memasukkan penis ke dalam vagina (penetrasi).
Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Adapun dalam riwayat yang muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?” (HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain kemaluannya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
لَكِنْ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ وَسَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ مِنْهَا بِفَمِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرِجْلِهِ فَلَوْ وَطِئَهَا فِي بَطْنِهَا وَاسْتَمْنَى جَازَ . وَلَوْ اسْتَمْتَعَ بِفَخِذَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang mengalami nifas di atas sarungnya. Ia boleh mencumbunya dengan mulut, tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)