WASHINGTON DC, iNews.id – Amerika Serikat akan meninjau ulang bantuan luar negerinya ke Myanmar. Langkah itu diambil setelah Washington DC memutuskan peristiwa pengambilalihan kekuasaan oleh militer di Myanmar pada awal minggu ini sebagai kudeta.
Presiden AS Joe Biden mengancam akan memberikan sanksi baru terhadap para jenderal yang merebut kekuasaan di Myanmar. Tak hanya melakukan kudeta, militer di negara Asia Tenggara itu juga menahan para pemimpin terpilih hasil pemilu, termasuk peraih Nobel Aung San Suu Kyi, Senin (1/2/2021) pagi.
Amerika Serikat sampai sejauh ini belum melakukan kontak langsung dengan para pemimpin kudeta di Myanmar atau para pemimpin pemerintah sipil yang digulingkan.
Atas permintaan Gedung Putih, perwira tinggi Angkatan Darat AS, Jenderal Mark Milley, sudah berusaha menelepon militer Myanmar pascakudeta. Sayangnya, dia belum dapat terhubung dengan mereka, kata seorang pejabat AS, Selasa (2/2/2021).
Di bawah hukum AS, peristiwa kudeta di suatu negara secara otomatis membatasi bantuan AS kepada negara yang bersangkutan.
Kudeta Myanmar menjadi pukulan signifikan bagi pemerintahan Biden dan upayanya untuk membentuk kebijakan Asia-Pasifik yang kuat untuk melawan China. Padahal, banyak anggota tim kebijakan Asia Biden adalah orang-orang sukses di masa pemerintahan Presiden Barack Obama.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengatakan, negaranya memberikan hampir 135 juta dolar AS bantuan bilateral kepada Myanmar pada 2020. Namun, hanya “sebagian kecil” dari bantuan itu yang langsung diberikan kepada Pemerintah Myanmar.
Menurut dia, para pejabat AS sedang meninjau ulang bantuan itu. Akan tetapi, bantuan kemanusiaan, termasuk bantuan untuk kaum minoritas Muslim Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan di Myanmar, serta program-program yang mempromosikan demokrasi atau menguntungkan masyarakat sipil, akan terus berlanjut.
“Perhatian pertama kami saat kami melakukan peninjauan itu adalah untuk memastikan bahwa kami tidak melakukan apa pun yang akan memengaruhi orang-orang Burma yang telah lama menderita, termasuk Rohingya,” kata Price dalam sebuah penjelasan singkat, dikutip Reuters, Rabu (3/2/2021).