WASHINGTON, iNews.id - Amerika Serikat kembali diguncang tragedi kekerasan, kali ini oleh sosok yang ironisnya pernah menjadi sekutu penting dalam operasi militernya.
Penembakan dua tentara Garda Nasional di dekat Gedung Putih pada Rabu (26/11/2025) menjadi tamparan keras bagi Washington, setelah terungkap bahwa pelaku adalah Rahmanullah Lakanwal (29), imigran Afghanistan yang pernah bekerja untuk pasukan elite AS dan bahkan lembaga intelijen CIA.
Serangan tersebut menewaskan seorang tentara perempuan sehari setelah kejadian dan membuat seorang lainnya kritis. Lokasinya yang begitu dekat dengan jantung kekuasaan AS menambah bobot tragedi sekaligus memperlebar sorotan publik terhadap proses keamanan, imigrasi, dan pembinaan mantan mitra perang.
Dulu Sekutu, Kini Pelaku Penyerangan
Rahmanullah bukan orang asing dalam lingkar operasi militer AS. Selama bertahun-tahun, ribuan warga Afghanistan bekerja sebagai penerjemah, pemandu, dan mitra operasi untuk pasukan A, termasuk CIA, selama perang panjang di Afghanistan. Banyak dari mereka dijanjikan perlindungan dan kesempatan hidup baru di Amerika karena kontribusinya.
Namun perjalanan Rahmanullah justru berubah tragis. Setelah pindah ke Amerika pada September 2021, tahun penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan, dia mendapat status suaka pada awal 2025. Beberapa bulan kemudian, dia melakukan serangan mematikan terhadap prajurit negeri yang pernah menjadi majikannya.
Pertanyaannya kini: apa yang membuat seorang sekutu berubah menjadi ancaman bersenjata?
Motif Gelap yang Belum Terungkap
Presiden Donald Trump menyebut motif pelaku “belum jelas” namun langsung mengaitkannya dengan terorisme.
“Siapa yang tahu apa motifnya, tapi apa yang dia lakukan sungguh mengerikan,” ujar Trump, saat berbicara dengan pasukan militer dalam momen Thanksgiving.
Dia menegaskan serangan ini sebagai “ancaman terorisme” dan mengaitkannya dengan efektivitas Garda Nasional dalam menekan angka kriminalitas di Washington DC.
Meski demikian, otoritas penegak hukum belum memastikan apakah aksi Rahmanullah bermuatan ideologi, dendam pribadi, gangguan mental, atau motif lain.
Dugaan Celah Vetting: Apakah Amerika Salah Mengambil Risiko?
Kasus Rahmanullah kembali membuka perdebatan sengit tentang kebijakan imigrasi dan proses vetting terhadap mantan mitra perang AS. Para analis keamanan menyoroti tiga hal:
Proses pemeriksaan latar belakang terhadap penerima suaka dari zona perang sangat bergantung pada catatan intelijen yang kadang tidak lengkap.
Trauma pascaperang sering kali tidak terdeteksi dan tidak ditangani, terutama pada mereka yang bekerja di garis depan konflik.
Perpindahan dari zona perang ke kehidupan sipil di AS dapat menimbulkan guncangan besar, termasuk tekanan ekonomi dan sosial.
Semua kemungkinan kini menjadi bagian dari penyelidikan FBI.