ISTANBUL, iNews.id - Jumlahnya fantastis, Rp881 triliun. Itulah dana yang dibutuhkan untuk membangun kembali Jalur Gaza setelah 2 tahun serangan mematikan Israel menghancurkan hampir seluruh wilayah kantong Palestina tersebut.
Namun pertanyaannya kini bukan sekadar berapa biaya yang diperlukan, melainkan siapa yang akan membayarnya.
Laporan Interim Damage and Needs Assessment (IRDNA) yang disusun Bank Dunia, Uni Eropa, dan PBB, memperkirakan total kebutuhan rekonstruksi mencapai 53 miliar dolar AS atau setara Rp881 triliun. Angka ini mencakup kerusakan fisik senilai 29,9 miliar dolar serta kerugian sosial dan ekonomi sebesar 19,1 miliar dolar.
Namun versi otoritas Gaza bahkan lebih tinggi. Kantor Media Pemerintah Gaza memperkirakan total kerugian sektor vital bisa menembus 70 miliar dolar AS. Artinya, beban pemulihan Gaza bisa menjadi proyek kemanusiaan termahal dalam sejarah modern.
Rekonstruksi Tersandera Politik
Menurut banyak pengamat, rekonstruksi Gaza bukan sekadar soal dana, tetapi juga soal politik dan izin.
Ahmed Bayram dari Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) mengatakan, upaya membangun kembali tidak akan mungkin tanpa komitmen Israel untuk membuka akses masuk material dan peralatan konstruksi.
“Tantangannya sangat besar, dan dunia harus bersatu. Tapi Israel harus terlebih dulu mengizinkan perbaikan infrastruktur dan jalan,” ujarnya.
Kondisi ini menimbulkan paradoks, negara yang menghancurkan Gaza justru menjadi pihak yang menentukan seberapa cepat dia bisa dibangun kembali.
Siapa yang Akan Menanggung Biaya?
Bank Dunia dan Uni Eropa telah menyiapkan kerangka pendanaan awal, namun jumlahnya masih jauh dari kebutuhan.
Negara-negara Teluk seperti Qatar dan Arab Saudi kemungkinan akan menjadi penyumbang utama, sementara negara-negara Barat masih terbagi antara kepedulian kemanusiaan dan kepentingan politik.