JAKARTA - iNews.id - Kasus Covid-19 diketahui tak pernah memecahkan rekor, seperti di Eropa atau di Amerika Serikat. Terkait hal itu, Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman menjelaskan penyebabnya.
Menurut dia, pada dasarnya kasus Covid-19 di sejumlah negara saat ini mengalami peningkatan cukup drastis. Bahkan, di Australia, Amerika Serikat, dan Eropa kasusnya memecahkan rekor tertinggi.
"Kasusnya bisa banyak bahkan melebihi 300.000 kasus per hari. Di Amerika, Eropa, Australia, kasus Covid-19 harian, mingguan, memecahkan rekor. Bahkan kasus dunia juga memecahkan rekor. Baik angka kasus maupun hunian rumah sakit," terang Dicky, Selasa (11/1/2022), ketika dikonfirmasi.
Namun, kata dia, kini sudah banyak masyarakat yang memiliki imunitas karena vaksinasi, pernah terinfeksi, atau justru sudah terinfeksi dan sudah divaksinasi. Maka penyebaran varian Omicron menjadi samar.
Oleh karena banyak orang yang memiliki imunitas., penyebaran Omicron menjadi silent, tidak bergejala, yang jumlahnya hampir 90 persen.
"Apalagi di tengah keterbatasan daya deteksi Omicron. Jadi tidak bisa mendeteksi dengan cepat penyebaran Covid-19 Omicron di Indonesia," tutur dia.
Apalagi, kasus Covid-19 varian Omicron yang terdeteksi dan dilaporkan itu bergantung pada kemampuan setiap daerah dan negara. Indonesia dinilai belum memiliki kemampuan yang baik untuk mendeteksi Omicron.
Akibatnya, jumlah kasus tidak terdeteksi sehingga belum ada laporan kasus Covid-19 pecahkan rekor di Indonesia. Padahal, Omicron telah menyebar di antara masyarakat.
"Indonesia tidak memiliki kemampuan deteksi testing yang mumpuni, 500.000 per hari saja belum bisa. Pernah 250.000 sekali atau dua kali, tapi kemudian menurun. Jadi bukan kasusnya sedikit tapi karena sistem deteksi dini kita belum mampu mendeteksi kasus sebanyak tersebut. Kasus Omicron itu ada tapi ada di tengah masyarakat tidak terdeteksi," jelas Dicky.