“Kondisi semacam ini juga mempersulit pengawas pemilu di lapangan dalam membedakan loyalitas ASN terhadap kepala daerah dengan loyalitas ASN terhadap kandidat pilkada,” tutur Aisyah.
Dia menilai lemahnya penegakan hukum dan tidak berjalannya otoritas pengawasan internal dan eksternal secara maksimal, menyebabkan banyak ASN melanggar netralitas saat pilkada. Lemahnya penegakan hukum tersebut juga berkaitan dengan pemberian sanksi yang tidak memberikan efek jera bagi para pelanggar.
Padahal, kata Aisyah, jika mengacu pada PP Nomor 53 Tahun 2010 tenyang disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), semestinya ada hukuman tegas bagi ASN yang tak netral atau terlibat politik praktis. Hukuman tersebut mulai dari penundaan kenaikan gaji, pangkat, penurunan pangkat, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian—baik secara hormat maupun tidak hormat.
“Namun, temuan kami menunjukkan, pemberian sanksi oleh PPK hanya sebatas teguran dan surat peringatan. Sanksi semaca ini jelas tidak akan menimbulkan efek jera sehingga ASN tetap terdorong untuk melakukan pelanggaran yang serupa pada pilkada berikutnya,” ucap Aisyah.
KPPOD sebelumnya merilis hasil penelitian terkait keterlibatan ASN dalam politik praktis. Menurut hasil riset itu, ditemukan 80 kasus ASN melanggar netralitas dalam pelaksaan Pilkada Serentak 2018 di lima provinsi.