Dia mengatakan, saat pelaku kekerasan seksual merupakan oknum pejabat publik, proses hukum menjadi sesuatu yang sangat sulit diharapkan. Jika pun proses hukum terjadi, klaimnya, proses tersebut berjalan sangat lambat.
Terlebih lagi, tidak jarang, saat putusan pengadilan, hukuman yang dijatuhkan ringan. Bahkan dirasa kurang maksimal.
Hal itu, tutur Livia dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni pelaku yang merupakan oknum pejabat publik memiliki “kekuatan dan kekuasaan” guna memberikan tekanan kepada para korban. Terkadang oknum tersebut juga “memaksa” korban untuk berdamai.
“Berbagai cara digunakan pelaku, mulai intimidasi fisik maupun bujuk rayu dengan pemberian materi,” katanya.
Dia mengatakan, dalam konteks perlindungan korban kekerasan seksual, para korban memiliki hak yang sudah diatur jelas dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban. Namun sayangnya, pemahaman akan hak-hak korban tersebut belum merata.