PO Tami Jaya - Mamiek Soekarno
Mendirikan sebuah PO bus biasanya dilakukan dengan perencanaan matang. Ini berbeda dengan PO Tami Jaya dibangun dari coba-coba, tapi sukses bertahan hingga sekarang
Butuh biaya besar dalam mendirikan PO bus, khususnya untuk membeli armada yang bernilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Perizinan mendirikan perusahaan jasa transportasi juga tidak mudah.
Namun, PO Tami Jaya memiliki kisah yang berbeda ketika didirikan pada 1985, seorang perempuan Mamiek Soekarno. Keduanya awalnya merupakan pengusaha di bidang angkutan niaga untuk kebutuhan pertanian.
“Ibu sama Bapak awalnya punya toko untuk pertanian, dari situ membutuhkan truk buat angkut pupuk. Terus sejarahnya ada Bude, kakaknya ibu, yang lebih dulu merintis bus, ‘Ayo coba bermain di bis’,” kata Erike Kristiana Dewi, direktur PO Tami Jaya dalam video di kanal YouTube PerpalZ TV.
Meski ajakan datang dari orang terdekat sudah memperlihatkan hasil positif dari usaha bus, Mamiek tak langsung tergiur. Erike mengungkapkan sang ibu akhirnya tertarik dan mengorbankan salah satu truknya.
“Awal mulanya itu dari truk, pada zaman itu truk bagong. Itu di karoseri jadi bus, masih ada sampai sekarang. Dari situ ibu bermain bus kok seneng, terus ada tawaran beli bus seken. Akhirnya beli baru sampai sekarang,” ujarnya.
Erike menuturkan berdasarkan cerita yang ditangkap dari sang ibu dan mendiang ayah, mereka mengawali usaha tersebut dari coba-coba. Jika tak berhasil mereka masih memiliki usaha di bidang pertanian yang cukup kokoh menopang perekonomian keluarga.
“Kalau dari cerita ya ibu hanya mencoba, kan dulunya berurusannya sama barang, benda mati. Tapi tak tahu bagaimana, pada akhirnya kok bilus menyenangkan. Karena dulu (persaingannya) masih enak nggak seperti sekarang,” katanya.
Kesuksesan PO Tami Jaya dalam bertahan diketatnya persaingan transportasi darat, khususnya bus, adalah armadanya yang selalu dapat membuat nyaman penumpang. Ini dapat terjadi karena perawatan dilakukan oleh perusahaan sangat ketat.
“Intinya yang benar-benar terlibat dalam perusahaan ini kan ibu. Jadi ibu itu prinsipnya kan dia itu seorang perempuan tidak tahu mesin. Ibu itu bilang ke montir, untuk masalah mesin itu tidak boleh KW harus ori. Terus oli, misal standarnya (penggantian) 10.000 km, harus diganti sebelum mencapai itu. Jadi mainnya itu main aman,” ucap Erike.
Nama Tami Jaya diambil dari kakak Erike yang meninggal dalam kandungan sang ibu. “Tami Jaya itu dari nama kakak saya yang sudah almarhum. Jadi ibu itu sebenarnya punya lima anak, saya anak kelima. Nomor keempat ini meninggal di kandungan namanya Utami Nuratri Dewi, yang akhirnya dijadikan ibu sebagai malaikat kami di keluarga dan perusahaan,” ujarnya.
Mengabadikan nama anak yang belum sempat terlahir ke dunia, dianggap Ibu Mamiek sebagai sebuah penghormatan. Erike juga mengakui ini sangat berpengaruh terhadap apa yang terjadi di perusahaan hingga bertahan sampai sekarang.