Ternyata, rumah tersebut digunakan sebagai tempat pemakaman yang orang Toraja bilang itu Patane. Bagian depannya terdapat ukiran batu cukup besar yang menyerupai matahari terbit. Tapi kita tidak bisa masuk dalam Patane tersebut, karena kondisinya memang tertutup. Kita hanya bisa melihatnya dari luarnya yang megah.
Dikatakan oleh turis lokal yang orang asli Toraja, Levi, Patane memang tidak boleh sembarangan dibuka. Ada waktu-waktu khusus Patane boleh dibuka katanya.
"Patane biasanya hanya dibuka waktu ada jenazah mau dikubur, kemudian harus setelah panen," ucapnya.
Meninggalkan bangunan Patane, saya menaiki anak tangga dengan cukup hati-hati karena gerimis membuatnya sedikit licin untuk ditapaki. Baru awal menaiki anak tangga, kita langsung disuguhkan dengan beberapa peti yang diletakkan menggantung pada tebing. Beberapa peti bentuknya menyerupai perahu dengan sejumlah tengkorak di atasnya.
Pemandangan yang membuat mata terpana, betapa kentalnya adat istiadat dan tradisi dari leluhur yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Toraja. Terus menaiki anak tangga, kita masih belum dibuat berhenti melihat pemandangan sekeliling. Puluhan tulang belulang berserakan, beserta tengkoraknya di peti yang sudah hancur.