Ilustrasi Antrean BPJS KetenagakerjaanAdvertisement . Scroll to see content
Kemudian, kata Saleh, Undang-Undang No 11/2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) juga mengamanatkan dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang sumbernya juga dari BPJS TK. Sehingga, kalau JKP-nya diberlakukan dan JHT-nya tidak dihambat untuk ditarik maka di saat yang bersamaan, pekerja dibolehkan untuk mengambil keduanya.
Sementara itu, dalam hitungan JKP, pekerja mendapatkan 45 persen dari total gaji untuk 3 bulan pertama, dan 25 persen dari total gaji untuk 3 bulan berikutnya. Saat JKP dan JHT ditarik secara bersamaan secara masif, tentu dana yang tersedia di BPJS TK pun akan terbatas, dan BPJS tidak bisa langsung menarik investasi yang ditanamkan. Dan akhirnya, dibuatkan ketentuan baru pencairan JHT itu.
“Kalau misalnya ditarik semua, bayangkan beberapa yang sisa uang diinvestasikan di dalam itu, itu kan sangat riskan. Supaya tidak terjadi pengambilan uang dalam bentuk banyak sekali, sehingga mengganggu investasi di dalam, maka itu ditahan dulu, ya udah sampai 56 tahun,” paparnya.
Menurut Saleh, pemerintah berdalih bahwa tujuannya agar para pekerja ini sejahtera di masa pensiun mereka, sehingga mereka bisa menggunakan dana JHT ini saat usia pensiun mereka. Namun, dia menilai bahwa alasan tersebut sangat lucu, di saat usia produktif, pekerja tidak bisa mengambil JHT-nya, kemudian di saat usia 56 tahun di mana masuk usia pensiun, mereka diberikan dana JHT untuk membuka usaha.
“Ini kan lucu argumen ini, kenapa orang sudah pensiun disuruh modal usaha, sementara pada usia produktif dia sekarang, usia produktif kan sekarang usia 40 tahun sampai 45 tahun, lalu pada usia produktif ini yang bisa dipakai untuk modal enggak boleh diambil. Ini kan logika-logika yang sebetulnya itu belum bisa didudukkan secara bersama,” tutup dia.