Indonesia Reproduksi Sehat: Membangun Kualitas SDM Bangsa
Budi Wiweko
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ketua Komisi 2 Senat Akademik Universitas Indonesia.
Wakil Direktur Indonesian Medical Education Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia.
DEFINISI World Health Organization (WHO) tentang kesehatan reproduksi mengatakan dengan jelas bahwa seorang individu dinyatakan sehat bila organ dan fungsi reproduksinya baik. Secara tersurat hal ini menjelaskan pentingnya sebuah pasangan untuk mendapatkan keturunan. Kesehatan reproduksi menggambarkan siklus kehidupan yang dimulai sejak jabang bayi di dalam rahim ibu hingga dilahirkan, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, lanjut usia dan kemudian meninggal dunia.
David Barker pada tahun 2002 telah menuliskan hipotesisnya, “the first nine month shape the rest of your life”. Karena itu, tidaklah heran bila semua negara berlomba-lomba menyiapkan generasi penerusnya melalui pembangunan kesehatan reproduksi. Angka kematian ibu dan angka kematian bayi menjadi salah satu parameter penting bagi kemajuan negara. Begitu pula dengan angka kejadian stunting yang memiliki dampak negatif bagi pembangunan generasi yang akan datang.
Sebagai sebuah negara kepulauan yang sangat luas, dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta, tentu bukan perkara mudah bagi Indonesia untuk mengendalikan serta menurunkan angka kematian ibu (305 per 100.000 kelahiran hidup), angka kematian bayi (27 per 1000 kelahiran hidup) serta angka kejadian stunting (saat ini sebesar 30 persen).
Kondisi ini menjadi salah satu keprihatinan Presiden Joko Widodo, yang sangat menyadari bahwa pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi kunci Indonesia ke depan. Hal ini ditekankan Presiden dalam poin kedua tentang “Visi Indonesia” yang disampaikan pada Sabtu (13/7/2019) lalu di Sentul.