Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Dituding Takut Panggil Bobby Nasution, KPK: Belum Ditemukan Keterlibatan di Korupsi Proyek Jalan Sumut
Advertisement . Scroll to see content

Pendidikan dan Semangat Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Selasa, 02 Mei 2023 - 15:34:00 WIB
Pendidikan dan Semangat Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Firli Bahuri (Foto: Antara)
Advertisement . Scroll to see content

Jika melihat perjalanan Republik ini dari masa kemasa, pendidikan jelas menjadi satu senjata yang paling ampuh yang bisa kita gunakan untuk mengubah dunia (Education is the most powerful weapon which you can use to change the world), di mana bangsa kita yang awalnya terbelakang karena kebodohan, kini menjadi bangsa superior yang cerdas di mata dunia, seiring dengan meningkatnya kualitas pendidikan rakyat Indonesia.

Ada satu perkataan tokoh sekaligus pahlawan pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, yakni "Tak ada hukuman yang lebih menyedihkan dari terpenjara kebodohan" yang menginspirasi saya.

Saya, Firli Bahuri, bungsu dari 6 bersaudara yang berasal dari keluarga miskin di pelosok dusun Sumatera Selatan, di mana di masa kecil saya telah memahami petuah orang tua, terutama ibu, tentang pentingnya pendidikan untuk mengubah keadaan khususnya kondisi ekonomi keluarga yang sangat sulit saat itu. 

Dengan segala keterbatasan ekonomi keluarga, apalagi usai ditinggal wafat ayah, saya menguatkan tekad dan diri untuk terus sekolah setinggi-tingginya agar nasib dapat berubah, seperti kata ibu. 

Berat dan perih memang.. 

Di kala teman SD berangkat diantar orang tua atau saudaranya dengan sepeda, saya harus berjalan kaki "nyeker" pergi dan pulang ke sekolah sejauh 16 km setiap hari, karena tidak memiliki sandal apalagi sepatu. 

Bayar SPP sekolah saat itu juga bukan dengan uang, melainkan "barter" buah kelapa, ikan atau durian. Alhamdulillah kepala sekolah SD menerima kelapa atau  durian atau ikan hasil tangkapan sendiri sebagai pengganti uang SPP. 

Semasa SMA, saya ikut kakak mengontrak di dekat SMA 3 Palembang, dan saya ingat betul, setiap pulang sekolah bersama kakak, kami mencari ikan di rawa untuk di tukar dengan pisang serta beras ketan. 

Beras ketan dan pisang tersebut dibuat pepes ketan oleh kakak, dan saya yang menjualnya ke warung-kewarung atau "ngider" dari kampung ke kampung. Dari hasil berjualan pepes ketan, kami gunakan untuk membayar uang sekolah. 

Untuk membeli peralatan dan keperluan sekolah lainnya, saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, atau menjual spidol yang saya beli di Pasar Cinde, lalu saya jual kembali dengan sedikit keuntungan di Taman Ria Palembang. 

Usia tamat SMA, saya yang jelas tidak memiliki uang untuk melanjutkan jenjang pendidikan di universitas, mendaftarkan diri ikut sekolah yang dibiayai negara yakni Akabri. Tiga kali saya mendaftar, tiga kali juga gagal diterima saat itu. 

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut