Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Hasto Ungkit Pesan Bung Karno: Kita Tak akan Jadi Negara Kuat jika Tidak Kuasai Samudera
Advertisement . Scroll to see content

Republik yang Didirikan Pecinta Buku

Selasa, 27 Oktober 2020 - 23:59:00 WIB
Republik yang Didirikan Pecinta Buku
Republik Indonesia didirikan oleh para pecinta buku. Tak disangsikan lagi, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah pembaca buku paling ambisius. (Foto: Perpusnas)
Advertisement . Scroll to see content

Setelah 74 tahun merdeka Republik ini masih sangat membutuhkan buku

Republik ini didirikan oleh para pecinta buku. Tepat kiranya kini ada Perpustakaan Proklamator Bung Karno di Blitar, Jawa Timur dan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatera Barat yang berada di bawah naungan Perpustakaan Nasional, agar harta karun pengetahuan dan api semangat kejuangan terus dapat disemaikan di republik ini. Tetapi, setelah 74 tahun merdeka, Republik ini masih sangat membutuhkan semangat membaca, bahkan masih sangat membutuhkan buku.

Survei Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018 melibatkan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara. Survei ini dilakukan setiap tiga tahun sekali. Hasil survey PISA tahun 2018, menunjukkan bahwa 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah, di bawah Level 2 dalam skala PISA. Artinya, siswa Indonesia bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama maupun informasi penting di dalam suatu teks pendek. Tercatat skor membaca Indonesia sebesar 371 pada 2018. Angka ini merupakan titik terendah sejak tahun 2000. Bahkan, peringkat membaca Indonesia turun dari peringkat 64 menjadi 74 di antara negara-negara peserta.

Pada sisi berbeda, survei yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional tahun 2019 di 102 kabupaten/kota pada 34 provinsi dengan 3 parameter; (1). Frekuensi membaca per minggu (kali); (2). Durasi/intensitas membaca dalam sehari (jam); (3). Banyaknya bacaan telah dibaca selama 3 bulan terakhir (judul), menunjukkan indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia pada level sedang dengan nilai 53.84 dari rentang skor 0-100. Angka ini menunjukkan kenaikan tidak signifikan dari tahun sebelumnya (2018) dengan indeks 52.92 (sedang). Namun, perolehan ini naik signifikan dibanding tahun 2018, yaitu 36.48 (rendah).

Padahal, selama hampir 15 tahun, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan nasional untuk mengatasi krisis literasi ini. Namun, alih-alih membaik, skor rata-rata membaca siswa di Indonesia pada PISA 2018 masih sama persis dengan hasil tahun 2000 ketika Indonesia pertama kali mengikuti PISA. Kegagalan ini terkait terbatasnya akses siswa di Indonesia terhadap bahan bacaan - yakni betapa sedikitnya buku bacaan berkualitas yang tersedia.

Kekurangan bahan bacaan pada masyarakat sangat erat kaitannya dengan jumlah produksi bahan bacaan per tahun. IKAPI sebagai asosiasi penerbit Indonesia mencatat, angka penerbitan Indonesia per tahun tidak jauh dari kisaran 30.000 judul buku per tahun. Jika IKAPI mencatat data penerbitan komersial, ini bisa dibandingkan dengan data dari Perpustakaan Nasional yang mendaftar ISBN bagi penerbitan komersial dan nonkomersial, rata-rata per tahun 75.016 judul atau 375.082 judul pada kurun waktu 2015--2019. Dengan demikian, penerbitan Indonesia masih didominasi oleh penerbitan nonkomersial yang umumnya dari perguruan tinggi dan lembaga pemerintah yang peredaran bukunya terbatas pada kalangan tertentu.

Sedang, jika ditilik dari jumlah perpustakaan sebagai representasi pusat pengetahuan dan pembelajaran masyarakat, jumlah perpustakaan di Indonesia  berdasarkan data Sensus Perpustakaan tahun 2018 yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional berjumlah 164.610 perpustakaan. Jumlah ini bahkan tercatat oleh Library of Congress Amerika Serikat sebagai yang terbanyak di dunia setelah India. Dengan demikian, dari sisi perpustakaan sebagai pusat diseminasi pengetahuan melalui  penyediaan bahan bacaan bagi masyarakat keberadaan perpustakaan memiliki nilai strategis. Dari jumlah di atas terinci dalam berbagai jenis perpustakaan, yakni perpustakaan umum berjumlah 42.460 yang tersebar dari ibu kota provinsi sampai dengan desa. Perpustakaan khusus yang dimiliki oleh lembaga pemerintah dan swasta berjumlah 6.552 perpustakaan. Perpustakaan sekolah jumlahnya paling besar yaitu 113.541 perpustakaan dari tingkat SD, SMP dan SMA. Sedang jumlah perpustakaan perguruan tinggi 2.057 perpustakaan. Di samping itu, saat ini juga telah tersedia 121 perpustakaan digital yang disediakan oleh Perpustakaan Nasional, 17 pemerintah provinsi, 22 pemerintah kota, 72 pemerintah kabupaten dan 9 kementerian/Lembaga, yang dapat diakses masyarakat melalui gawai dan menyediakan buku-buku digital secara gratis.

Namun, persoalannya bukan pada kurangnya jumlah perpustakaan, tetapi pada jumlah koleksi bahan bacaan. Berdasarkan Sensus Perpustakaan yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional tahun 2018 jumlah total koleksi perpustakaan di Indonesia hanya 16.077.296 eksemplar, atau hanya tersedia 6.213 buku tiap 100.000 penduduk. Jumlah ini tentu sangat tidak mencukupi kebutuhan bahan bacaan masyarakat. Sesuai dengan standard UNESCO rasio ketersediaan bahan bacaan dibanding jumlah penduduk minimal 1 : 2,  atau 2 buku untuk 1 penduduk. Dengan demikian, jika penduduk Indonesia 265 juta (Bappenas, 2018), maka Jumlah kebutuhan nyata bahan bacaan  yang masih harus disediakan adalah 513.922.704 eksemplar buku secara nasional. Secara parsial rasio ketersediaan buku paling tinggi berada pada provinsi Kalimantan Selatan yakni 25.950 buku per 100.000 penduduk, angka ini jika dibandingkan dengan jumlah penduduk sebenarnya masih kurang. Kekurangan buku paling parah terjadi di Papua Barat karena hanya ada 671 buku per 100.000 penduduk.   

Untuk itu, perlu berbagai terobosan dan kebijakan untuk mempersempit kesenjangan ketersediaan bahan bacaan di masyarakat. Penciptaan ekosistem masyarakat berbasis pengetahuan mutlak diperlukan untuk meninggikan ketersediaan bahan bacaan di masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan terus mempromosikan akses terbuka di antara perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan swasta agar hasil riset dan berbagai terbitan tersedia dan dapat diakses secara gratis oleh masyarakat melalui berbagai perpustakaan digital, termasuk portal penjelajahan pengetahun Indonesia yang telah disediakan oleh Perpustakaan Nasional – Indonesia OneSearch (www.onesearch,id).

Di samping itu, perlu penguatan iklim penerbitan Indonesia dengan intervensi pemerintah melalui pengajuan hak cipta alih bahasa dari karya-karya penting terbaru dalam berbagai subjek ilmu pengetahuan. Promosi penerbitan digital harus terus diperkuat untuk mengundang para penulis novum agar makin kreatif dan tertantang untuk menulis berbagai karya dalam format digital dan disebarkan melalui berbagai perpustakaan digital. Termasuk dalam hal ini ialah penerbitan Kembali karya-karya penting dalam format digital, juga pengayaan karya dalam format multimedia. Tak kalah pentingnya adalah insentif dan dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam penerbitan berbagai konten literasi dan pengembangan koleksi semua jenis perpustakaan di daerah termasuk di wilayah 3T.

Kebijakan wajib belajar sembilan tahun, hingga kampanye Gerakan Literasi Sekolah dan Gerakan Literasi Nasional yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2016, seharusnya berkorelasi secara signifikan dengan pertumbuhan jumlah koleksi perpustakaan sekolah di luar buku paket pembelajaran. Bahkan jika perlu ada penerapan target jumlah judul buku wajib dibaca per tahun bagi setiap siswa dan mahasiswa, seperti pada masa lalu.

Republik ini sungguh memerlukan membaca dan buku, agar semangat persatuan dan keatuan bangsa tetap terjaga. Salam literasi….!

Editor: Dani M Dahwilani

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut