Fakta keenam, risiko utang Indonesia menurun tajam. Ini ditandai dengan rasio pembayaran pokok (debt service ratio/DSR) dan bunga utang dengan pendapatan yang terus turun. Mulai dari sebesar 47,3% pada 2020 menjadi 34,4 persen pada 2022. Kemudian kembali turun, hingga menjadi 28,4 persen pada April 2023.
Prastowo juga mengatakan rasio pembayaran utang (interest ratio/IR) terhadap pendapatan juga menurun dari 19,3 persen pada 2020 menjadi 14,7 persen pada 2022 dan 13,95 persen per April 2023. Ini menunjukkan kemampuan APBN dalam membayar biaya utang (pokok dan bunga) semakin menguat.
Fakta ketujuh, Indonesia masih dipandang reliable dalam pengelolaan utang. Hal ini ditunjukan melalui penilaian dari lembaga-lembaga pemeringkat kredit, seperti Standard & Poor's, Moody's, dan Fitch yang memberi rating BBB/Baa2 untuk Indonesia dengan outlook stabil, di saat banyak negara mengalami downgrade.
Fakta kedelapan, utang yang dilakukan pemerintah memberi manfaat lebih. Prastowo mengatakan, sepanjang 2015 hingga 2022 penambahan utang sebesar Rp5.512 triliun masih lebih rendah dibanding belanja prioritas yang mencapai Rp8.892 triliun. Adapun belanja prioritas itu berupa belanja perlindungan sosial, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Fakta kesembilan, pertumbuhan aset nilainya melebihi penambahan utang. Menurut Prastowo, hal tersebut menunjukkan pembangunan infrastruktur yang terus menjadi salah satu prioritas sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi.
"Selain itu, utang juga digunakan untuk ketersediaan sarana pendidikan dan kesehatan, untuk mendukung pembangunan kualitas SDM," pungkasnya.
Fakta kesepuluh, utang BUMN bukan beban APBN. Yustinus Prastowo mengacu pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Segala utang yang timbul atas aksi korporasi pun menjadi tanggung jawab BUMN yang bersangkutan, bukan merupakan utang negara.