"Sejak beberapa tahun terakhir, Pupuk Indonesia telah melakukan penyesuaian strategi dengan mempertimbangkan volatilitas harga bahan baku global serta kebutuhan akan peningkatan efisiensi operasional. Adanya Perpres 113/2025 memperkuat arah transformasi tersebut secara kebijakan," ujar Yehezkiel.
Menurut dia, sebagian besar fasilitas produksi Pupuk Indonesia telah beroperasi hampir 50 tahun. Akibatnya, konsumsi bahan baku, terutama gas, menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan standar global.
Sebagai contoh, pabrik di Pupuk Iskandar Muda (PIM) membutuhkan sekitar 54 juta British thermal unit atau millions of British thermal units (MMBTU) gas untuk memproduksi satu ton urea. Sedangkan standar dunia berada di kisaran 23-25 MMBTU per ton.
Kondisi ini berdampak pada tingginya biaya produksi yang dihitung melalui skema subsidi cost plus. Seluruh biaya tersebut bahkan ditagihkan kepada pemerintah.
"Melalui Perpres 113/2025, skema subsidi pupuk cost plus ditinggalkan. Subsidi kini menggunakan mekanisme marked-to-market (MTM), yang secara langsung mendorong efisiensi dan disiplin biaya di tingkat produsen," jelas Yehezkiel.
Dia menekankan Perpres 113/2025 berperan strategis sebagai titik keseimbangan antara keterjangkauan harga pupuk bagi petani dan keberlanjutan industri pupuk nasional. Dalam skema baru ini, harga pupuk bersubsidi bagi petani tetap dijaga melalui kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET), sementara produsen didorong untuk meningkatkan efisiensi industri secara jangka panjang.