Pascagagalnya pengesahan resolusi DK PBB yang diajukan UEA, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan akan terus mengupayakan terwujudnya gencatan senjata kemanusiaan di Jalur Gaza. “Dewan Keamanan gagal melakukannya, namun tidak membuat hal ini menjadi tak penting. Saya tidak akan menyerah,” kata Guterres, Minggu 10 Desember, seperti dikutip Reuters.
Seperti diketahui, AS adalah pendukung utama Israel. Negara adidaya itu telah menggunakan hak vetonya secara berulang untuk mendukung dan melindungi Israel dalam konflik dengan Palestina.
Menurut catatan, sejak 1945, terdapat 36 resolusi Dewan Keamanan PBB yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina yang diveto oleh salah satu dari lima anggota tetap DK PBB, yaitu AS, Rusia, China, Inggris, dan Prancis. Dari jumlah tersebut, 34 resolusi diveto oleh AS. Sementara Rusia dan China masing-masing menggunakan hak veto pada dua resolusi.
Berdasarkan fakta tersebut, menjadi jelas bahwa AS begitu gigih membela zionis sembari menutup mata atas kekejaman Israel yang membantai puluhan ribu warga Palestina. Sementara, China dan Rusia menyikapi konflik dengan lebih mengutamakan akal sehat. Kedua negara itu bahkan menolak melabeli para pejuang Hamas sebagai teroris—seperti yang dilakukan negara-negara Barat dan Israel.
AS tak sekadar membela Israel lewat penggunaan hak vetonya di DK PBB. Selama perang di Gaza berlangsung, Washington DC juga terus memasok senjata mematikan ke Tel Aviv yang digunakan tentara zionis untuk membantai penduduk Palestina.
Sementara PBB seperti tak berdaya untuk menghentikan kebrutalan Israel. Bahkan, data terakhir menunjukkan, pekerja Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) yang tewas di Jalur Gaza terus bertambah akibat serangan zionis. Hingga Minggu (24/12/2023) lalu, jumlahnya telah mencapai 142 orang.
Area luas di Gaza kini telah menjadi tanah yang tidak berpenghuni. Menurut PBB, sekitar 80 persen populasi di wilayah kantong Palestina itu telah mengungsi, menghadapi kekurangan makanan, bahan bakar, air, dan obat-obatan, bersamaan dengan ancaman penyakit.
“Hukum kemanusiaan internasional semestinya mencakup kewajiban untuk melindungi warga sipil,” kata Guterres.
Sementara itu, pihak ketiga seperti Qatar, Arab Saudi, dan Mesir terus berusaha menggunakan jalur diplomasi demi mencapai kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tawanan atau tahanan antara Israel dan Hamas.