Baik pejabat China daratan maupun Hong Kong tampak kompak memanfaatkan isu kerusuhan dalam protes-protes antirasial yang mencengkeram AS pascakematian pria berkulit hitam, George Floyd, pekan lalu. Meledaknya aksi massa di kota-kota negeri Paman Sam, menjadi kesempatan bagi Beijing untuk mempropagandakan dan membenarkan tindakan keras mereka sendiri terhadap gerakan prodemokrasi dan rencana pemberlakuan UU Keamanan Nasional di Hong Kong.
Selama sepekan ini, publik Amerika Serikat digegerkan dengan tewasnya pria berkulit hitam bernama George Floyd (46) di tangan petugas Departemen Kepolisian Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, Senin (25/5/2020) pekan lalu. Kala itu, pria keturunan Afrika-Amerika itu diborgol dan ditelungkupkan ke tanah oleh polisi.
Floyd tewas setelah seorang polisi (yang kemudian diketahui sebagai Derek Chauvin) menindih lehernya dengan lutut selama lebih dari lima menit. Kematian pria malang itu direkam dalam sebuah video.
Aksi protes antirasial pascakematian Floyd terus berkobar di berbagai kota di Amerika Serikat. Bahkan, demonstrasi yang menjamur itu kini memakan korban jiwa.
Seorang warga sipil di Louisville, Negara Bagian Kentucky, dilaporkan tewas di tengah aksi unjuk rasa yang berlangsung di kota itu, Senin (1/6/2020) pagi waktu setempat. Korban meregang nyawa setelah ditembak aparat kepolisian yang mengamankan demonstrasi.