Dinas pertanian diminta untuk memberi pendampingan agar petani bisa belajar memproduksi pupuk organik. Dengan begitu, kata Daniel, petani bisa membuat pupuk organik sesuai dengan standar-standar yang ditentukan.
“Petani juga bisa bekerja sama dengan lembaga yang concern dengan sektor pertanian maupun perguruan tinggi, yang memiliki banyak penelitian terkait pertanian,” ucapnya.
Daniel pun menilai, masih lemahnya administrasi mengenai pupuk bersubsidi membuat banyak ditemukannya kasus-kasus penjualan pupuk subsidi ke pihak yang tidak seharusnya. Contohnya ke perusahaan-perusahaan yang memiliki HGU perkebunan, baik di kehutanan atau perkebunan dengan berbagai modus.
“Alokasi pupuk subsidi yang tidak tepat sasaran pastinya berdampak terhadap stok pupuk bagi petani. Pengawasan yang ketat harus ditingkatkan agar tidak ada penyelewengan, karena kalau biaya produksi gabah tinggi akibat kelangkaan pupuk pastinya mempengaruhi nilai jual produksi,” ucapnya.
Banyaknya persoalan pupuk subsidi juga menjadi perhatian Ombudsman RI, yang saat ini tengah mendalami adanya potensi maladministrasi pada tata kelola pupuk bersubsidi. Beberapa maladministrasi yang ditemukan Ombudsman mulai dari pendataan, pengadaan, penyaluran hingga pengawasan pupuk bersubsidi.
Untuk mengatasi kelangkaan pupuk subsidi yang menjadi masalah berkepanjangan, Daniel juga mengusulkan dibuatnya program kemandirian pupuk. Menurutnya, anggaran pupuk subsidi sebesar Rp33 triliun per tahun bisa dialokasikan dengan dibangunnya pabrik pupuk mandiri di tiap-tiap basis produksi pertanian.
“Bisa semua provinsi dibangun pabrik pupuk mandiri, tapi memang harus dipikirkan transisinya dah benar-benar perkuat sistem kelembagaan manajemennya, serta melibatkan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) maupun BUMD kabupaten dan provinsi,” tutur Daniel.