Dari kejauhan mereka dapat melihat ada sebuah perahu nelayan yang menuju pantai tetapi karena jauhnya tidak mungkin mengetahuinya. Dan itu merupakan satu-satunya perahu yang dijumpai selama perjalanan tersebut.
Mereka terus berenang dengan harapan untuk selamat semakin besar. Pukul 12.15 tanggal 9 Desember 1975, mereka berhasil mendarat dengan selamat di pantai Peitoko Alor Timur setelah berenang selama tiga hari tiga malam dan menempuh jarak hampir 90 mil. Kebetulan di dekat tempat mereka mendarat terdapat mata air yang jernih. Di situ lah mereka melepas dahaga setelah tiga hari tiga malam tidak makan dan tidak minum.
Selesai sembahyang dengan muka hancur terkelupas, tanpa baju dan dengan kaki terpincang-pincang mereka menuju arah kampung yang teletak sekitar 4 km di sebelah barat tempat mereka mendarat. Dari tengah laut sebenarnya kampung tersebut sudah tampak, tetapi karena arus kuat ke arah timur, mereka tidak berhasil mendarat tepat di kampung tersebut.
Mereka berjalan pelan-pelan di jalanan yang berbatu-batu karang menyebabkan kaki terasa sakit dan ngilu sekali. Tetapi rupanya mereka masih harus mengalami cobaan lagi, yang hampir-hampir menyita nyawanya.
Setibanya di kampung yang bernama Desa Peitoko bukannya mereka segera dirawat dan diberi makanan lezat tetapi nyaris mereka dibunuh oleh hansip karena disangka Fretilin. Untung pada saat-saat kritis tersebut datang seorang pedagang yang pernah bermukim di Gresik dan dengan perantaraannya berhasil meyakinkan mereka betul-betul tentara Indonesia.
Baru setelah mereka yakin kedua orang itu anggota-anggota Korps Marinir TNI AL mereka menyambutnya dengan penuh keharuan. Semua penduduk mengerumuninya dan juga kedua anggota Marinir ini pun ikut menangis karena terharu.