Kilas balik, upaya pembungkaman ini sebenarnya bukanlah hal baru. Berbagai fenomena pembungkaman terhadap jurnalis bahkan kerap diwarnai oleh kekerasan sejak beberapa dekade lalu. Bahkan, kasusnya jarang diselidiki hingga tuntas dan terduga pelaku berasal dari kalangan penguasa.
Pada tahun 1996, jurnalis Udin terbunuh, didug akibat sering mengkritik kebijakan pemerintah daerah. Empat tahun setelahnya, diduga milisi menembak jurnalis Agus Mulyawan di Timor Timur hingga tewas.
Selanjutnya tahun 2003 jurnalis RCTI Ersa Siregar tewas dalam peliputannya ketika meliput konflik Aceh saat terjadi baku tembak pasukan TNI dan Gerakan Aceh Merdeka. Lalu pada tahun 2006, jurnalis di Sidoarjo, Herliyanto ditemukan tewas pascamemberitakan kasus korupsi anggaran pembangunan oleh mantan kepala desa.
Pada Kamis (8/10/2023) lalu, jurnalis Peter Rotti dikeroyok segerombolan aparat kepolisian saat meliput unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kartu memori kamera hasil peliputannya tentang aksi unjuk rasa dirampas paksa.
Mirisnya, kekerasan tidak hanya menyasar jurnalis senior. Jurnalis berstatus mahasiswa pun mengalami kekerasan serupa. Pada hari dan tempat yang sama, tiga anggota Pers Mahasiswa GEMA Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) dikabarkan hilang ketika meliput unjuk rasa.