Rentetan peristiwa tersebut seakan menunjukkan bahwa negara masih terjegal oleh para oknum dan perundang-undangan yang dilahirkannya. Para jurnalis diperhadapkan dengan perumpamaan buah simalakama. Tidak melakukan peliputan, masyarakat kehilangan haknya atas informasi. Jika melakukan peliputan, nyawa yang menjadi taruhannya.
Peran pers dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi sudah selayaknya mendapatkan perlindungan hukum yang optimal. Kerja-kerja investigatif para jurnalis seyogyanya dijamin keamanannya oleh negara dan perundang-undangan yang berlaku. Namun, apa jadinya jika penegakan hukum dewasa ini terbukti belum mampu menaungi para jurnalis ketika meretas batas ketidakmungkinan, menguak skandal dan menyuguhkannya ke publik?
Sejatinya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diimpikan mampu melindungi kerja-kerja jurnalistik dan menjamin terpenuhinya hak publik untuk memperoleh informasi. Kerja-kerja mulia peliputan adalah sumbangsih luhur para jurnalis dalam upaya ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ sesuai amanat pembukaan UUD 1945.
Peran pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui kebijakan yang diputuskan, wajib diawasi sepenuhnya oleh jurnalis sebagai watchdog dan disajikan ke publik. Penyajian informasi berkualitas akan mampu merawat nalar kritis dan melahirkan insan cerdas.
Hanya informasi yang kredibel, terverifikasi, independen, komprehensif dan proporsional, mampu melahirkan transparansi. Hal ini akan mampu membuka ruang bagi seluruh warga masyarakat untuk turut serta mengambil bagian dalam pembangunan suatu bangsa.