Di kubu pro penambangan, seperti dilakukan masyarakat adat Suku Kawei. Mereka melakukan aksi protes menyusul pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel oleh pemerintah, termasuk PT Kawei Sejahtera Mining. Aksi protes dilakukan dengan memblokade total akses masuk ke Pulau Wayag, destinasi wisata ikonik berskala internasional.
Imbas pemblokadean tersebut seluruh kegiatan pariwisata di kawasan tersebut lumpuh total. Sejumlah kapal wisata yang membawa turis asing dilaporkan diusir dari wilayah tersebut oleh warga adat yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat Pulau Wayag.
"Kalau perusahaan tambang tidak dibuka, maka Wayag tetap kami tutup," ujar salah satu perwakilan masyarakat dalam rekaman yang beredar di media sosial. Pernyataan ini disambut seruan “setuju” oleh massa yang hadir dalam aksi tersebut. (iNews.id, 2025).
Menanggapi memanasnya situasi, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat mengeluarkan larangan sementara bagi wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Wayag, Distrik Waisai Utara. Langkah ini dilakukan demi menjaga keamanan dan membuka ruang dialog.
Dia juga menegaskan akan turun langsung ke lapangan untuk menemui warga Suku Kawei. Pemerintah daerah berharap masyarakat tidak menjadikan sektor pariwisata sebagai sasaran protes karena bisa berdampak negatif terhadap ekonomi lokal yang sangat bergantung pada kunjungan wisata.
Penolakan Tambang Terus Bergulir
Di pihak lain, suara penolakan terhadap praktik pertambangan nikel di Raja Ampat terus menggema dari berbagai pihak, termasuk organisasi lingkungan nasional dan internasional.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menjadi salah satu pihak yang paling vokal. Mereka mengibaratkan eksploitasi tambang di Raja Ampat seperti “menjual ginjal untuk membeli ponsel”.