Mengenang Sapardi Djoko Damono, Tidak Menulis saat Emosi
Puisi, menurut Sapardi sebenarnya tak ubahnya sebuah sains atau rumus matematika. Puisi sangat kental logika, "maka kata-kata dalam puisi pun harus nyambung."
Tidak menulis saat emosi
Sapardi mengaku tak pernah menulis saat dirinya sedang dalam keadaan emosi yang tidak stabil, misalnya saat jatuh cinta, saat patah hati, saat sangat marah, sangat sedih atau bahkan sangat rindu.
"Kalau saudara sedang sangat marah, misalnya, maka itu tidak akan jadi. Saya saat menulis puisi 'Dongeng Marsinah' itu dalam keadaan sangat marah makanya itu butuh waktu sampai tiga tahun untuk menyelesaikannya, bahkan sampai sekarang pun kalau saya membaca lagi puisi itu, saya masih marah dan ingin memperbaikinya," kata Sapardi.
Peraih penghargaan Pencapaian Seumur Hidup dalam Sastra dan Pemikiran Budaya dari Akademi Jakarta itu yakin, orang yang sedang emosi tinggi atau marah tak akan bisa menulis puisi dengan baik.
"Kalau emosi tinggi jangan nulis, nanti puisinya tanda pentung (tanda seru) semua, siapa yang bisa baca? Tenangkan dulu perasaannya. Ajak bicara emosinya, 'Hei, saya mau nulis dulu, kamu menyingkir dulu', jadi harus ada jarak antara penyair dan apa yang akan disyairkan. Namanya jarak estetis," kata Guru Besar Pensiun (profesor emeritus) UI itu.