Memahami Konsep Judicial Activism di Mahkamah Konstitusi
Dr Fahri Bachmid, SH, MH
Advokat; Anggota Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf.
PERNYATAAN Ketua Tim Kuasa Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto (BW) yang mempertanyakan tidak dilakukannya “judicial activism” oleh Hakim Konstitusi dalam memeriksa, mengadili dan memutus PHPU Pilpres 2019 dalam perkara No 01/PHPU-PRES/VXII/2019 dengan pemohon Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno keliru dan tidak tepat.
BW salah memahami konsep dasar serta teori pembuktian yang ada pada Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU pilpres, sebagaimana konsepsi dasar serta teori tentang judicial activism (aktivisme yudisial). Sebagaimana dikutip dari Peneliti MK, Pan Mohamad Faiz, dalam Brian Gallingan (1991), yang mendefinisikan judicial activism sebagai pendekatan hakim dan pengadilan untuk melakukan fungsi kontrol serta mempengaruhi institusi politik serta administratif, baik pada lembaga legislatif maupun eksekutif, dalam rangka membuat kebijakan serta keputusan.
Istilah ini pertama kali dikenalkan oleh seorang cendekiawan, Arthur Schlesinger, dalam majalah Fortune (1947). Dikatakan bahwa para hakim yang menggunakan judicial activism cenderung memosisikan dirinya sebagai hakim yang berhak dan berwenang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan politik, sosial dan ekonomi dalam membuat putusan tersebut dan kadangkala para hakim juga membuat aturan hukum (judges making law) berdasarkan pandangan-pandangan personalnya.
Para hakim yang sering menggunakan pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah “activist judges”. Berangkat dari ajaran serta doktrin di atas dan jika kita kaitkan dengan pandangan serta kehendak Pemohon untuk memaksa hakim MK melakukan sesuatu dalam konteks pembuktian pada perkara PHPU Pilpres 2019 yang lalu adalah berpotensi merusak sistem hukum, khususnya hukum acara MK serta berbagai kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Mahkamah.
Hal tersebut tentunya secara normatif serta konstitusional sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 24 C ayat (1) jo UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Selain itu, ketentuan Pasal 36 ayat (1) mengenai alat bukti, jo ketentuan Pasal 45 ayat (1) yang menegaskan bahwa MK memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim, jo Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam penyelesaian PHPU pilpres.