Memahami Konsep Judicial Activism di Mahkamah Konstitusi
Semua landasan hukum itu berdasar pada alat bukti yang sah. Hakim kontitusi tidak boleh didorong agar bersikap parsial dengan cara aktif untuk mencari alat bukti untuk kepentingan Pemohon. Ini adalah sebuah ironi dalam konteks sengketa pilpres dengan corak “contentious”, yang mana para pihak saling berhadapan serta membela kepentingan hukum yang berbeda pula.
Dengan demikian Pemohon secara hukum diberi beban untuk membuktikn dalil yang dikemukakan atau sesuai sifat ajaran hukumnya disebut dengan “Actori Incumbit Probatio”. Akan menjadi melawan hukum jika secara otoritatif Mahkamah didorong oleh pihak Pemohon agar dapat berperan aktif untuk membantu mencari serta menemukan alat bukti untuk kepentingan mereka.
Dengan argumentasi bahwa hakim harus melakukan judicial activism, hal tersebut melanggar asas imparsialitas lembaga peradilan dan menjadi tidak relevan berdasar kaidah-kaidah hukum pemilu yang berlaku saat ini.
Perlu diingat bahwa berdasarkan desain konstitusional tentang pemilu beserta lembaga peradilan yang diberikan mendat khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hasil pemilu telah diatur sedemikian rupa serta dengan batas-batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi maupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan demikian, secara teoritik maupun normatif hendaknya dipahami bahwa konsep serta paradigma judicial activism bukanlah dimaksudkan untuk mengadili perkara PHPU pilpres. Sebab, salah satu kewenangan konstitusional MK yakni memeriksa, mengadili, serta memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final, termasuk dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum.