Manzilah-manzilah ditandai dengan perubahan bentuk-bentuk bulan, dari bentuk sabit makin membesar menjadi purnama sampai kembali lagi menjadi bentuk sabit menyerupai lengkungan tipis pelepah kurma yang tua, untuk itu Allah SWT menjelaskan:
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia seperti pelapah yang tua” (QS 36:39).
Lalu, manzilah yang mana yang bisa dijadikan awal bulan? Manzilah awal adalah hilal, hilal itu adalah bentuk sabit tipis. Itulah sebagai penentu waktu (mawaqit) awal bulan, karena tandanya jelas setelah sebelumnya menghilang yang disebut bulan mati. Allah SWT menjelaskan:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (bagi penentuan waktu ibadah) haji” (QS 2:189).
Jadi yang menjadi penanda Ramadhan, Syawal dan Haji itu adalah bulan sabit (hilal), yang merupakan penomena observasi (rukyat), walaupun dalam waktu yang bersamaan hilal ini juga merupakan bagian dari manzilah yang bisa diketahui dengan hitungan (hisab).
Jadi observasi mata (rukyat) dengan hisab bukanlah dua hal yang kontradiktif, keduanya bisa digunakan untuk usaha dalam operasional penentun awal Ramadhan, Syawal dan Haji.
Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir menjelaskan, Allah SWT dan Rasul-Nya memberikan petunjuk bahwa ibadah puasa adalah ibadah yang waktu pelaksanaannya berdasarkan peredaran bulan. Syariat ini hadir pada tahun ke 2 H, pada waktu di mana masyarakat Arab dan sekitanya dalam keadaan tidak bisa membaca, menulis dan berhitung (hitung astronomi). Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalil tentang Rasulullah SAW dalam banyak sabdanya memberikan petunjuk tentang melihat bulan, diantara sabdanya:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (lebaran) saat melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
“Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim).