KHARTUM, iNews.id - Perang saudara yang telah berlangsung lebih dari 2 tahun mendorong Sudan ke jurang kehancuran ekonomi. Nilai mata uang nasional, pounds Sudan, merosot lebih dari 800 persen dan memicu hiperinflasi yang tak terkendali.
Situasi ini menandai salah satu krisis finansial terburuk dalam sejarah negara tersebut.
Sejak konflik pecah antara pasukan pemerintah dan pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada 2023, perekonomian Sudan mengalami kolaps bertahap. Namun dalam beberapa bulan terakhir, kemunduran itu meningkat drastis setelah RSF menduduki Kota El Fasher, memicu pembantaian ribuan warga sipil dan memperlebar kekacauan nasional.
1 Euro Kini Setara 3.500 Pounds Sudan
Nilai tukar pounds Sudan benar-benar hancur. Sebelum perang, 1 euro bernilai sekitar 450 pounds Sudan. Kini, di pasar gelap yang menjadi satu-satunya rujukan karena bank sudah lumpuh, 1 euro melesat menjadi 3.500 pounds, atau naik lebih dari 800 persen.
Anjloknya nilai tukar ini membuat harga bahan pokok melonjak gila-gilaan. Banyak keluarga kini hanya mampu makan sekali sehari, sementara sebagian lainnya bertahan hidup dengan bantuan kemanusiaan yang semakin sulit masuk akibat pertempuran.
Sistem Perbankan Runtuh, Ekonomi Tak Lagi Berfungsi
Hiperinflasi ini diperparah oleh hilangnya sistem perbankan Sudan. Ketika pertempuran mencapai Khartum pada 2023, Bank Sentral Sudan dibakar dan kemudian diduduki pemberontak selama hampir dua tahun sebelum dibebaskan kembali. Jaringan antarbank SWIFT terputus, bank-bank komersial ditutup atau dijarah hingga brankasnya kosong.
Akibatnya, uang tak lagi beredar, tabungan warga tidak bisa diakses, transfer dana tidak dapat dilakukan, bank tidak mampu memasok uang tunai ke masyarakat. Banyak warga bahkan mengaku tidak melihat uang tunai selama berbulan-bulan.
Ketika Uang Tidak Lagi Bernilai: Barter Menggantikan Segalanya
Dengan hancurnya nilai mata uang dan tidak berfungsinya bank, warga beralih ke sistem barter. Barang-barang seperti cangkul, kursi, jagung, tepung, atau gula menjadi alat tukar baru.
“Saya tidak memegang uang kertas selama lebih dari 9 bulan,” kata Ali, seorang PNS di Kota Dilling yang dikepung oleh RSF, seperti dikutip dari Al Jazeera.
Dia pernah menukar cangkul dan kursi dengan tiga karung sorgum, sesuatu yang menggambarkan betapa lumpuhnya nilai uang di Sudan. Bahkan jasa transportasi dibayar dengan barang.
“Pengemudi ojek dan tuk-tuk sekarang dibayar dengan bahan bakar atau sabun,” ungkap Al Sadiq Issa, seorang relawan lokal.