Karena semua senator ditunjuk oleh para pemimpin kudeta, mereka selalu memilih untuk mendukung pemerintah saat ini yang berpihak pada militer. Mereka tidak pernah mendukung oposisi.
Jadi secara teknis partai, mana pun tanpa dukungan senat akan membutuhkan mayoritas super 376 dari 500 kursi. Target yang tidak dapat dicapai dengan jumlah partai yang mencapai hampir 70.
Selain dari Paetongtarn Shinawatra, Jenderal Prayuth juga menghadapi perlawanan dari Move Forward. Partai pro-reformasi itu mendapatkan momentum. Menurut jajak pendapat terbaru oleh National Institute of Development Administration, pemimpin Move Foward, pengusaha bernama Pita Limjaroenrat muncul sebagai salah satu kontestan terkemuka untuk menjadi perdana menteri.
Lonjakan popularitas Pita membuatnya menyalip pemimpin hasil polling sebelumnya, Paetongtarn. Sementara Prayuth jauh di urutan ketiga.
Dilansir dari BBC, pemilu Thailand digambarkan sebagai titik balik bagi negara yang telah mengalami selusin kudeta militer dalam sejarahnya. Kudeta terakhir pada 2014 dipimpin oleh Jenderal Prayuth yang kini menjadi perdana menteri.
Thailand mengadakan pemilu 2019. Sayang hasilnya menunjukkan tidak ada partai yang memenangkan suara mayoritas.
Berminggu-minggu kemudian, sebuah partai pro-militer membentuk pemerintah dan menunjuk Prayuth sebagai kandidat PM dalam proses yang menurut pihak oposisi tidak adil.
Tahun berikutnya keputusan pengadilan yang kontroversial membubarkan Future Forward, iterasi sebelumnya dari Move Forward, yang tampil kuat dalam pemilihan berkat dukungan penuh semangat dari para pemilih muda. Hal itu memicu protes massal yang berlangsung selama enam bulan yang menyerukan reformasi militer dan monarki.