Yunaldi Libra
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta
WARGA Perumahan Bukit Pesanggerahan Indah 2, Bojonggede, Bogor, memilih melawan dengan cara yang unik untuk melawan gempuran sampah yang kian merajalela. Mereka memasang spanduk berisi sumpah serapah dan doa kutukan bagi pembuang sampah sembarangan. Terkesan lucu memang, tapi inilah salah satu potret nyata keputusasaan yang dijadikan alat perlawanan ekologis oleh masyarakat.
Kita sering melihat spanduk larangan buang sampah di mana-mana. Warga perumahan yang berlokasi di desa ragajaya ini, menulis narasi yang mampu membuat pembacanya tertegun.
“Demi Allah Saya Ikhlas, Anak Cucu Saya 7 Turunan Akan Menderita dan Sakit Berkepanjangan Jika Saya Buang Sampah di Sini.”
Narasi ini tentunya bukan kalimat dalam ceramah agama atau naskah yang diucapkan aktor dalam drama sinetron. Narasi “keras”ini adalah pesan warga yang ada di spanduk, yang dipasang di pinggir jalan tempat tumpukan sampah "kiriman" biasa bersarang. Bukan hanya di Bojonggede, fenomena serupa muncul di banyak kota. Di Bantul ada gambar pocong, di Jember ada ancaman “miskin tujuh turunan”, dan di Sukabumi tertulis “Hanya Monyet yang Buang Sampah Sembarangan”.
Spanduk-spanduk unik tersebut merupakan cerminan suara hati masyarakat yang sudah jengah, muak, dan marah. Tapi di sisi lain, mereka tidak pasrah begitu saja. Mereka melawan. Bukan dengan cara kekerasan, tapi dengan komunikasi yang menyentuh, bahkan menggelitik.
Melalui spanduk yang dibikin oleh warga perrumahan bukit pesanggerahan indah 2 kita bisa belajar bahwa tidak perlu papan reklame atau kampanye jutaan rupiah untuk menyampaikan komunikasi efektif kepada masyarakat. Spanduk plastik murah bisa menjadi alat komunikasi yang lebih tepat dari pada baliho resmi pemerintah. Kenapa? Karena narasi yang tertulis di spanduk tersebut datang langsung dari hati warga.
Meski menggunakan bahasa sehari hari, isi spanduk tersebut tidak basa basi dan penuh dengan emosi, karena memberi sentuhan religius, sindiran, bahkan ancaman. Semua itu dilakukan sebagai bentuk strategi yang mungkin tidak disadari. Namun cara itu mampu menghadirkan rasa malu, dan menggerakkan tanggung jawab, serta rasa hormat pada lingkungan (Jatmika, 2022).
Komunikasi visual berperan penting dalam menyampaikan pesan sosial dan ekologis. Menurut Kress dan van Leeuwen (2006), elemen visual mampu mentransmisikan informasi, dan juga membentuk makna sosial. Spanduk larangan buang sampah, yang ditempatkan secara strategis di titik-titik rawan pembuangan sampah, menjadi simbol perlawanan warga. Spanduk tersebut juga menjadi media komunikasi yang efektif untuk mengkomunikasikan nilai sosial tertentu, termasuk kepedulian, rasa malu, dan tanggung jawab sosial.
Dalam kerangka teoritis ecomedia, media adalah alat untuk menyampaikan informasi, dan juga menjadi bagian dari ekosistem sosial dan ekologis. Rust, Monani, dan Cubitt (2015) menjelaskan bahwa ecomedia mengaitkan komunikasi dengan konteks lingkungan, budaya, dan praktik sosial. Spanduk menjadi bagian dari lanskap ekologis untuk menyampaikan larangan, dan membentuk kesadaran serta respons terhadap masalah lingkungan.
Spanduk larangan buang sampah berfungsi sebagai bentuk nyata dari ecomedia, sederhana, murah, namun efektif dalam membentuk kesadaran ekologis. Spanduk tersebut juga menjadi alat kontrol sosial karena keberadaannya menciptakan tekanan moral bagi warga dan orang luar yang melewatinya. Bahkan, bentuk dan isi pesan menjadi viral di media sosial, memperkuat efeknya secara luas.