Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Yayasan Kanker Indonesia Bantah Rokok Tak Sebabkan Kematian
Advertisement . Scroll to see content

Fakta Tersembunyi di Balik Uap Vape

Kamis, 20 November 2025 - 18:39:00 WIB
Fakta Tersembunyi di Balik Uap Vape
Bahaya vape tidak hanya mengancam penggunanya, tapi juga orang-orang di sekitar. Apa sama dengan rokok. (Foto: iNews)
Advertisement . Scroll to see content

Ketua Perkumpulan Produsen Eliquid Indonesia (PPEI), Daniel Boy Purwanto mengatakan, satu persoalan paling mendasar dalam industri vape yang membuat bingung adalah terkait kadar nikotin. Berdasarkan penelusuran pihaknya di berbagai vape store, kata Daniel, ditemukan beberapa produk yang mencantumkan kadar nikotin, sementara produk lain tidak mencantumkan sama sekali, bahkan beberapa produk tidak cocok antara label kemasan dan hasil uji laboratorium. 

Daniel berdalih, kebingungan ini terjadi karena pemerintah belum menetapkan batas aman nikotin maupun metode pengujiannya. Dari tiga laboratorium terakreditasi yang selama ini dipakai produsen, hasil pengujian nikotin bisa saling berbeda karena metode yang tidak seragam. 

“Jujur saja bingung. Jadi saya mau mengujikan kadar nikotin di e-liquid ini ke lab yang mana yang bener? Karena lab-lab ini beda metodenya, hasilnya pun beda. Kondisi ini membuat produsen rentan disalahkan meskipun berusaha mencantumkan informasi seakurat mungkin,” kata Daniel, Jumat (14/11/2025).

Menurut Daniel, hingga saat ini, belum ada aturan resmi dari pemerintah tentang komponen apa saja yang wajib dicantumkan dalam kemasan liquid. Akibatnya, produsen mengadopsi standar global, terutama yang berasal dari Inggris, negara yang dianggap paling maju dalam regulasi rokok elektronik. PPEI juga secara mandiri menyarankan anggotanya mencantumkan peringatan seperti “21+” dan “tidak untuk ibu hamil”, meskipun tidak diwajibkan pemerintah. Namun, di luar keanggotaan PPEI, produk-produk tanpa informasi yang memadai masih beredar luas.

“PPEI patokannya global. Karena konsumen butuh informasi, jadi kita mengikuti apa yang secara internasional dianggap standar,” kata Daniel. 

Sedangkan External Affairs PPEI, Ray Naga Fajar Jessica mengatakan, selain masalah kandungan dan informasi di kemasan, publik masih dibanjiri klaim bahwa vape bisa membantu berhenti merokok. Namun berdasarkan data yang dikumpulkan pihaknya secara internal, justru menunjukkan sebaliknya. Dari 100 responden, hanya 1 persen yang benar-benar berhenti merokok setelah memakai vape. Mayoritas kembali ke rokok tembakau. “Pemerintah tidak pernah meluruskan narasi ini, sehingga produsen kerap dituduh seolah-olah menjual alat terapi, padahal kami sendiri tidak pernah mengkampanyekan vape sebagai alat berhenti merokok,” ujarnya.

Ray menambahkan, isu soal bahaya perisa juga belum pernah dijelaskan secara terang. Berulang kali ada pernyataan bahwa flavoring berbahaya jika dihirup, tetapi sampai hari ini tidak ada batas aman atau daftar bahan yang boleh digunakan. “Produsen memakai perisa makanan, tetapi tetap dianggap berpotensi berbahaya tanpa ada parameter yang jelas. Diskusinya akhirnya hanya menjadi peringatan umum tanpa arah,” katanya. 

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut