Asal-usul Tradisi Ziarah Kubur Jelang Ramadhan, Berikut Hukum Tata Cara dan Doanya
“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).
Dalam ‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”
Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”
Ibnu Taimiyah berkata bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam bisa sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat maupun jauh, sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied. Demikian dinukil dari Fathul Majid (hal. 269).
Tidak perlu dijadikan sebagai ‘ied yang dimaksud adalah terlarang mengulang-ulang ziarah kubur ke sana. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata,