Ma'asyiral muslimîn hafizhakumullah.
Beberapa tahun belakangan ini marak fenomena hijrah, terutama di kalangan generasi milenial dan muslim perkotaan. Komunitas hijrah bermunculan di beberapa kota. Bahkan, hijrah telah menjadi tren gaya hidup anak-anak muda zaman now. Sebuah fenomena positif yang menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran beragama umat Islam. Setiap kita pasti pernah mengalami fase tertentu dalam hidup, yang mengharuskan kita bertransformasi melakukan perubahan. Termasuk perubahan dalam sikap keberagamaan.
Tentu kita tidak ingin fenomena tersebut hanya sebagai gaya hidup ‘musiman’, yang bisa berubah sewaktu-waktu dengan datangnya gaya hidup baru lainnya. Kita juga tidak menginginkan tumbuhnya komunitas-komunitas tersebut mengarah kepada sikap eksklusifisme dalam beragama; yang menganggap dirinya lebih baik, atau paling islami, dibanding orang lain yang tidak mengikuti tren mereka. Kalau hanya sekadar life style, berhijrah hanya akan sebatas penampilan fisik atau cara berpakaian. Tetapi, substansi keberagamaan terabaikan.
Kalau hanya sekadar lifestyle, kita khawatir akan terjadi arus balik hijrah, ketika sampai pada titik klimaks, yaitu dalam bentuk pengenduran dalam beragama karena tidak puas dengan apa yang selama ini diterima.
Menurut sebuah survei di Turki, terjadi peningkatan orang yang tidak percaya pada agama hingga tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Penyebabnya, seperti dilansir oleh Deutsche Welle, adalah kekecewaan mereka pada penerapan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam laporan lain yang dilansir oleh BBC disebutkan, selain menjadi atheis, mereka juga menjadi agnostic (percaya Tuhan tapi tidak beragama). Oleh karenanya, menjadi penting memahami esensi dan makna hakiki dari hijrah.
Secara bahasa, hijrah berasal dari bahasa Arab dengan akar kata ha-ja-ra, memiliki makna dasar yang berkisar pada ‘memutus’ dan ‘mengencangkan’/ ‘menguatkan’. Hijrah dimaknai berpindah dari satu tempat ke tempat ke lain karena seorang yang berhijrah memutus hubungan dengan meninggalkan tempat tersebut dan berpindah ke tempat lain. Atau karena ia telah memutus segala bentuk ikatan dan komitmen dengan tempat tersebut.
Menurut pakar bahasa al-Qur'an, Raghib al-Ashfahani, alhajr berarti ‘meninggalkan sesuatu/ seseorang, baik secara fisik, lisan maupun hati. Ungkapan dalam al-Qur'an, ittakhadzu hadzal Qur’ana mahjura, berarti meninggalkan al-Qur’an dengan hati atau dengan hati dan lisan; tidak membacanya, menghafalnya, men-tadabburinya dan mengamalkannya. Kata ini, menurut al-Ashfahani, terkadang bisa dimaknai meninggalkan tempat secara fisik, yaitu meninggalkan sebuah tempat menuju tempat lain, dan bisa dimaknai secara batin, yaitu meninggalkan dan menolak syahwat, hawa nafsu, akhlak tercela dan kesalahan (alMufradat, 2/698)
Kata hijrah dengan berbagai derivasinya yang terulang sebanyak 31 kali dalam al-Qur'an lebih banyak digunakan untuk makna perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, sebagai upaya menghindari kesesatan dan penyiksaan yang merajalela dengan tidak ada kemampuan melawannya, untuk mencari tempat yang tenang dan aman. Para nabi terdahulu biasa melakukan hijrah ketika jalan dakwah tertutup. Nabi Ibrahim misalnya, pernah berhijrah dari Babilonia tempat kelahirannya, menuju beberapa tempat di tanah Arab, seperti negeri Syam, Mesir dan Mekkah.