Pada perkembangannya, aneka bentuk perjudian bermunculan seiring zaman. Sejarah mencatat judi bahkan pernah dilegalkan pemerintah. Orang mengenalnya sebagai sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB). Setelah SDSB berakhir, muncul pekan olahraga dan ketangkasan alias porkas, undian di bidang olahraga.
Apa yang terjadi sekarang ini lebih mengerikan. Ketika dunia telah tenggelam dalam era digital, judi berevolusi dalam format online. Sindikat judi online menawarkan iming-iming menyesatkan di berbagai layanan internet, mulai situs hingga media sosial.
Celakanya, jutaan orang larut dalam judi online. Nilai transaksi bahkan mencapai ratusan triliun. Sejumlah kasus kecanduan judi online bahkan berujung pada kematian, baik bunuh diri lantaran terjerat utang, maupun pembunuhan.
Mengapa bermain judi online memicu kecanduan? Mengapa pemainnya secara sadar sulit meninggalkan dan menghentikan rasa penasaran dari aneka slot untung-untungan itu?
Tidak dipungkiri, bagi pemain, sensasi ketegangan menunggu hasil: menang atau kalah, menjadi kesenangan tersendiri. Sensasi ini yang terus berulang hingga menjadi ketagihan. Secara ilmiah kerap disebut gambling compulsive atau gambling addiction.
Menurut psikolog Meity Arianty, secara ilmiah judi online berkaitan dengan peningkatan aktivitas di area otak yang terhubung dengan saraf dopamin. Dia menjelaskan, dopamin merupakan neurotransmitter yang berfungsi memberi sinyal antar-sel saraf atau sel saraf dengan sel lainnya.
Judi online juga berkaitan dengan hormon endorfin dalam tubuh. Hormon ini berkaitan dengan kesenangan atau perasaan puas ketika mendapat penghargaan. Karena merupakan permainan, judi online juga kerap merangsang adrenalin dalam tubuh.
"Sensasi ini yang dapat membuat seseorang ingin terus bermain untuk mendapatkan kembali perasaan tersebut. Sama seperti seksual atau menonton pornografi atau bermain game," kata Meity Arianty saat dihubungi iNews.id, Senin (17/6/2024).
Selain itu, beberapa faktor lainnya juga mendukung seseorang kecanduan bermain judi online. Salah satunya kesepian sehingga mencari pelarian.
"Adanya faktor psikologis seperti stres, depresi, atau kesepian, ini dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi kecanduan judi online, menjadikan judi sebagai pelarian atau obat," kata dia.
Kriminolog dari Universitas Indonesia Dr Wiendy Hapsari menuturkan, dalam perspektif kriminologi, maraknya judi online bisa dilihat dari beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan terkait penyebab. Mengapa seseorang bisa terlibat dalam judi online bisa dilihat dari Teori Regangan dari Merton (strain theory).
Teori ini menjelaskan bahwa perilaku kriminal terjadi karena adanya ketegangan yang dialami individu akibat ada tujuan sosial yang harus dicapai, sementara dia sendiri tidak memiliki sumber daya yang cukup.
Dalam kasus judi online, misalnya, pelaku dituntut untuk mencapai tujuan sosial, seperti mencapai kehidupan keluarga yang sejahtera, tetapi sayangnya dirinya juga kekurangan. Walhasil, kondisi ini membuat pelaku mencoba mencari alternatif lain yang sesuai dengan kemampuan. Judi online bisa menjadi alternatif karena orang tidak perlu sumber daya banyak untuk bisa menghasilkan uang.
“Pendekatan kedua, bisa dilihat dari aspek dampak. Dampak ini bisa menyentuh ke dua pihak, pelaku dan lingkungan masyarakat. Dampak ke pelaku salah satunya bisa menimbulkan mental health, yang risikonya bisa fatal,diantaranya suicide dan fatalnya lagi bisa memicu munculnya rentetan kejahatan-kejahatan lain, seperti merampok atau membunuh,” kata Wiendy.