Muh Jusrianto
Sekretaris Jenderal PB HMI dan Mahasiswa S3 HI Unpad
NAVIGASI kekuasaan Presiden Jokowi kini tersisa dua bulan lagi menuju masa purna bakti. Momentum pergantian kekuasaan yang akan berlangsung pada Oktober nanti hendaknya tidak dipandang secara sempit sebagai tonggak berdirinya pemerintahan baru, momentum ini harus dilihat ke dalam kerangka how is the future of democracy?
Pertanyaan ini sangatlah relevan dikemukakan di tengah masa transisi Pemerintahan Jokowi kepada Prabowo mengingat dari kacamata sejarah, demokrasi Indonesia acapkali mengalami pasang surut, sebagaimana demokrasi terpimpin di masa lampau. Selain faktor historis, realitas kontemporer juga mulai menunjukkan gejala-gejala problem dengan iklim demokrasi dan kebebasan.
Manuver elite politik selama dasawarsa terakhir ini nyatanya membawa konsekuensi destruktif bagi iklim demokrasi dan kebebasan. Dalam kajian-kajian akademik, para ilmuwan sosial politik telah memunculkan dua konklusi yang tidak saling menegasi akan realitas demokrasi, yakni trayektori demokrasi pascareformasi telah menjurus pada stagnasi ke regresi (Power & Warburton, Ed., 2020).
Penilaian ini tentu bukan semata asumsi. Ruang-ruang kebebasan yang menyempit, memudarnya kedaulatan partai politik, pembungkaman lawan-lawan politik melalui instrumen hukum merupakan sejumlah gejala yang menandai adanya mendung atas demokrasi Indonesia. Bahkan, dinasti politik yang sebelumnya marak di ranah lokal, kini menjalar ke tingkat nasional.
Masa transisi pemerintahan tidak sedikitpun menyurutkan animo elite politik dalam melancarkan manuver melalui proses legislasi. Keputusan politik hukum yang mesti dikaji dengan berbagai pertimbangan komprehensif melibatkan partisipasi luas masyarakat seakan diterabas.