Sementara itu, Benget mengatakan, pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024. Pencegahan dan pengendalian tersebut adalah: pengujian kadar nikotin dan TAR (pasal 431), larangan bahan tambahan (432), larangan menjual rokok pada usia di bawah 21 tahun, penjualan eceran per batang radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat anak bermain (pasal 434), pengaturan peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning (PHW, pasal 435-437), pengawasan (439-440). Selain itu penerapan kawasan tanpa rokok atau KTR (pasal 442-443), pengendalian iklan (pasal 446-447), dan penyediaan layanan upaya berhenti merokok (UBM).
Benget menegaskan, di dalam PP Nomor 28 tahun 2024 dan turunan yang sedang dibahas, telah diatur seperti apa peran kementerian dan lembaga di Indonesia dalam pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik. Misalnya, Kementerian Kesehatan melalui peningkatan upaya promosi kesehatan melalui pemanfaatan berbagai media dan skrining perilaku merokok dan tindaklanjutnya melalui akses klinik UBM. Kementerian Dalam Negeri dengan menetapkan kebijakan yang mendorong pemerintah daerah untuk menyelaraskan kebijakan terkait penerapan KTR dan penanggulangan tembakau.
Selanjutnya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berperan melakukan penerapan kebijakan KTR di lingkungan lembaga pendidikan, menggiatkan promosi dampak negatif rokok di lembaga pendidikan, dan memfasilitasi layanan berhenti merokok bagi anak sekolah yang sudah merokok. Serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang melakukan pengawasan PHW, melakukan pengujian kadar nikotin dan TAR, dan membantu dalam hal penarikan penjualan rokok apabila terjadi pelanggaran secara terus menerus.
“Ada banyak lembaga lain yang terlibat. Pastinya, diperlukan komitmen, kerjasama serta dukungan lintas kementerian dan lembaga dalam mengimplementasikan PP No 28 Tahun 2024 dan peraturan turunannya melalui Peraturan Presiden yang masih dalam tahap finalisasi,” ujarnya.
Benget menegaskan, bahwa dampak kesehatan yang diakibatkan rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok tembakau. Karena itu, masyarakat diminta berpikir ulang untuk mengonsumsinya. Dampak merokok tidak langsung dialami saat merokok, melainkan pada 10 hingga 20 tahun ke depan.
“Saat ini banyak penyakit tidak menular di sekitar kita seperi kanker, stroke dan jantung. Berdasarkan hasil penelitian yang kami kumpulkan, satu faktor risiko utama penyakit ini karena merokok. Bahkan, sebanyak 86,3 persen penyakit kanker paru pada laki-laki disebabkan memiliki perilaku merokok,” katanya.
Benget juga mengajak anak muda untuk tidak merokok. Menurutnya ketika sudah terkena penyakit yang diakibatkan rokok seperti kanker atau jantung, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kalau BPJS tidak mengcover semua pembiayaan. “Kalau sudah menderita kanker atau jantung, tak bisa kerja lagi dengan maksimal. Hidup harus disubsidi, harus berobat, harus antre di rumah sakit, dan berpotensi kehilangan pekerjaan. Memang ketika merokok tidak langsung mati, tapi dampaknya akan terlihat 10 hingga 20 tahun lagi,” ujarnya.
Liputan ini hasil kolaborasi dengan iNews.id, Tribun Medan dan IDN Times Sumut